Senin, 28 November 2011

Cerita Hidup lagi ..


Sudah lama sejak itu, sejak matahari pertama kali kusadari terbit dari timur, dan terbenam di barat. Ketika ibuku yang masih langsing menggendongku di depan rumah. Ketika kulihat foto kecil kakakku berdiri di dekat TV sambil menggenggam permen dan aku menjadi iri. Ketika aku menggigit hidung Koko, boneka kesayangan kakakku sampai lepas. Dan beberapa waktu setelah agak besar aku melihat foto itu. Jauh waktu telah bergulir hingga sekarang, merenung, agak sedikit, kesepian di depan monitor. Berusaha menuangkan memori, sedikit-sedikit, masa lalu yang hilir-mudik melalui perangkat otakku. Sudah larut bagi yang besok harus bangun subuh untuk menegakkan shalat, tapi malah kubuat satu cangkir kopi. Enaknya jika ada yang mau menemani momen-momen tak bisa tidur bersama dengan udara lumayan dingin habis hujan, tapi dia telah pergi. Dan sudah agak lama juga semenjak aku menjadi agak kesepian karena kepindahannya. Dia kalah, dan baru tadi aku sadari kalau aku juga. Tak seharusnya aku menghindar jika aku mau menang, tapi kondisi juga yang buat aku tak melanjutkan langkahku. Dia yang kalah.. Aku lebih suka menyalahkan orang lain. Itu membuatku aman.

Sekarang, apa yang telah ku dapat dari hidupku. Lumayan belajar sedikit-sedikit ketika aku tau kalau kebebasan harus diiringi dengan tanggung jawab. Aku jadi ingin bebas, tapi aku tahu kalau aku benci tanggung jawab, tapi mau tak mau aku harus begitu, karena aku mau bebas. Aku mau akulah yang menguasai hidupku, bukan orang lain, bukan orangtuaku atau kakakku. Temanku benar ketika aku harus melepaskan diri dari pengaruh kakakku, dan aku rasa sekarang saatnya. Aku bisa melakukan apa yang aku mau, biar aku tau bagaimana itu berjalan dengan caraku.

Akhir-akhir ini, aku jadi seperti tak begitu peduli dengan "kehidupanku", ya.. "kehidupan", bukan artinya kehidupan, tapi seperti aku tak peduli dengan keselamatanku, aku bisa tak bernafas kapan saja, di mana saja, dan oleh siapa pun.. Asal aku benar-benar bisa kembali kepadaNya. Ah.. Omonganku sompral! Bagaimana jika Allah membuatku tak mati tapi cacat. Hmh.. Itu lebih berat. Mungkin tak mau jadi seperti itu. Makannya selalu bersyukur karena diberi sehat, tapi menyenangkannya adalah, aku jadi lebih tenang menjalani hidupku. Mungkin memang kurang obsesif sebagai manusia, hingga kalau memang belum bisa tercapai apa mauku, maka hanya mencoba untuk bersabar, dan yakin Dia akan beri itu di waktu yang tepat, yang lebih jauh akan menyenangkan dirasa. "Yakinlah, maka itu akan mempengaruhi dirimu, untuk tak sadar mungkin malah berusaha lebih keras mencapai apa yang diyakini tersebut. Dirimu yang membuat dirimu."

Lucu sekali ketika kau menikmati kemarahan. Itu seperti kau ingin melakukan apapun yang buruk sampai tak peduli akan keselamatan dirimu. Nafsu melingkupi segalanya, mendominasi. Tapi jadi lucu ketika kau merasa kau memang bagian dari itu. Namun harus menekannya untuk tak jadi dungu. Hmm.. Barusan kuseduh kopi ku. Sedap, Kau tau.. Sekali lagi.. Aku menyayangkan dia tak ada di sini. Biasanya aku bisa mengunjunginya kalau dia tak mengunjungiku, sekedar numpang nongkrong di depan kamarnya, yang penting ada teman melek, dengan minuman hangat masing-masing, dan dia tak bisa tanpa rokoknya, Lucky Strike. Huh.. Menyebalkan. Mungkin sebaiknya kubeli sebungkus untukku jika penat sendirian. Ya.. Akhir-akhir ini kopi saja menjadi tak cukup. Dan langit telah bertambah gelap. Aku ingin melihat gumpalan asap tipis itu membaur di udara.

Aku suka kebaikan, sikap mengayomi dan lembut, seolah menjadi yang bisa mengatasi semuanya dengan jalan damai, seolah semuanya bisa diselesaikan tidak dengan adu mulut atau otot, dan berubah menjadi pertengkaran lalu permusuhan, bahkan dendam, tapi tak sekarang. Itu menjadi membosankan saat ini, ketika yang kau mau adalah rusuh, ah.. Tak juga.. Bukan rusuh, tapi sedikit keras. Hmh.. Aku jadi harus menghembuskan nafas, kenapa? Entahlah.. Sudahlama tak menulis. Menyenangkan..

Aku akan melanjutkan hidupku, menikmati rutinku, bersyukur, bersabar.. Aku akan kembali melanjutkan menyeduh kopi hangatku. Minuman yang telah jadi cepat dingin ini jadi pas dengan udaranya. Ah.. Coba ada teman bercengkrama..

Kamis, 03 November 2011

Pertemuan cs Perpisahan


Hidup itu tentang pertemuan dan perpisahan; Kemudian mungkin akan bertemu lagi, mungkin juga tidak

Ketika waktu berjalan cepat, maka akan kita anggap itu singkat, dan jika lambat, mungkin juga bisa singkat

Yang jelas semua bukan tentang waktu, zaman, atau masa, bukan, bukan tentang itu semua, karena Tuhan penuh teka-teki. Dia hanya ingin tunjukkan sesuatu lewat hal, ketika langit sore punya semburat jingga, dan kala tidak, dan saat malam punya banyak tentang yang nampak jelas bertaburan dan kala hitam itu hanya punya beberapa. ketika kita memandang langit di waktu yang sama dan berbeda. Semua itu hanya kita yang sedang dipertemukan, dan ketika nanti harus menikmati semua itu sendiri pasti ada beda, tapi gambaran itu akan tetap melekat di kepala.

Aku tak akan tahan mu untuk musim gugur yang mungkin akan segera datang, lewat jalan setapak yang penuh daun2 coklat, lalu semi menghantar hangat matahari untuk jiwa, seperti ketika kita menyeduh minuman hangat saja..

Sampai jumpa lagi.. Mungkin.. --,

Jumat, 28 Oktober 2011

*sigh..


Tak ada yang lusuh saat itu, kecuali mukaku yang tak lagi bisa fokus untuk cerita2 yang lain sesaat setelah perintah secara langsung dengan nada kasar itu terlontar. Walau ditanggapi dengan tawa puas, pikiranku malah kacau.

Ingin rasanya bilang kalau bukan itu yang sebenarnya ingin disampaikan. Selalu jahat untuk orang yang masuk ke dalam kategori lebih luar biasa dari yang luar biasa. Ah...



Inget woi! Dicintai y dicintai.. Gak usah terlalu ngarep balesan. Have to learn not to expect too much *sigh.. = (

I'll be missing u, just.. take care, U.. T.T

Selasa, 25 Oktober 2011

Cinta Fatima_Sang Alkemis_Gadis Gurun yang tangguh @--














Cinta itu bahasa yang bisa dipahami oleh setiap orang di bumi dengan hati mereka. Sesuatu yang lebih tua dari umat manusia, lebih purba dari gurun.

"Gurun mengambil para lelaki kami dari kami, dan mereka tidak selalu kembali,""kami tahu itu, dan kami terbiasa dengannya. Mereka yang tidak kembali menjadi bagian dari awan, bagian dari hewan-hewan yang bersembunyi di jurang-jurang dan dari air yang keluar dari bumi. Mereka menjadi bagian semuanya... Mereka menjadi Jiwa Buana. Beberapa memang kembali. Dan kemudian perempuan-perempuan lainnya gembira karena mereka percaya suami-suami mereka pun akan kembali suatu hari nanti. Aku terbiasa melihat para perempuan itu dan iri pada kebahagiaan mereka. Sekarang, aku juga akan menjadi salah satu dari perempuan-perempuan yang menunggu. Aku ini perempuan gurun, dan aku bangga akan hal itu. Aku ingin suamiku berkelana sebebas angin yang membentuk bukit-bukit pasir. Dan, jika terpaksa, aku akan terima kenyataan bahwa dia telah menjadi bagian dari awan, dan hewan-hewan, dan air gurun."

"Seseorang dicintai karena dia dicintai. Tak perlu ada alasan untuk mencintai."

Sang Bocah melihat mata Fatima berlinang.

"Kamu menangis?"

"Aku ini perempuan gurun," katanya, memalingkan wajah. "Tapi bagaimanapun, aku ini perempuan."

fatima_Sang Alkemis_

She is a wonderful tough woman b--, Love her personality

Sabtu, 22 Oktober 2011

letupan baru, resah baru ..

















Aku mulai menyukainya, aku rasa. Sudah ku bilang kalau aku tak pernah suka pada seseorang, untuk benar2 suka, pada pandangan pertama, tidak. Makannya kalau aku menyukai seseorang yang bagus fisiknya, mungkin itu hanya akan jadi ringan, tak serius, tak benar2 berat. Heheu..

Sudahlah.. Aku belajar satu hal. Ketika Kau dicintai seseorang, kau tidak perlu balas mencintai, jika kau memang tak mencintainya, tapi bagus jika cinta itu terbalas. Hehe.. Aku setuju. Itu yang namanya tulus, sebuah keikhlasan yang lahir dari murninya hati sekalipun telah tercemar. Hatikupun pasti telah dilekati banyak noda2 pekat, tapi jika aku punya "itu", "itu" akan datang dari murninya hatiku yang menyeruak untuk paling tidak membuat empunya hati sadar.

Baru saja menyelesaikan Sang Alkemis, tepatnya kemarin. Aku sama sekali dangkal dengan maksud2 terselubung dari kalimat2 yang aku yakin maknanya dalam, tapi sialnya, gagal ku olah. Sampai tak mengerti cerita akhirnya. Satu2nya scene yang ku mengerti adalah scene di mana sang bocah bertemu Fatima, hartanya yang akhirnya dia sadari sebagai yang paling berharga. Gadis gurun itu luar biasa, mereka wanita2 yang sangat sabar dan ikhlas untuk penantian panjang yang berisiko, tapi mereka terima itu sebagai wajar, dan ketika orang yang mereka nantikan tak kunjung datang, maka mereka mengikhlaskannya sebagai lahir menjadi "jiwa buana". Aku juga tak mengerti apa itu jiwa buana. Aku hanya menafsirkan itu sebagai roh2 suci yang akan menjadi bagian dari alam semesta, yang mereka ikhlaskan sebagai, walaupun dengan wujud yang berbeda, mereka masih tetap berada di sekeliling mereka, yang menanti. Luar biasa. Dan aku selalu berpikir, ketika seseorang talah sanggup mengabaikan kebutuhan dasar mereka, nama baik, harga diri, dan sebagainya yang sangat manusiawi, itu akan membawa mereka ke fitrah. Aku tak tau itu betul atau salah. Itu yang aku pikirkan, karena kebutuhan2 dasar tersebutlah yang pada dasarnya dikejar oleh manusia. Yah.. Silahkan katakan kalau: Namanya juga manusia. Hm.. Susah juga untuk menjadi tak mengejar itu lagi.

It maybe I have to start learn to love someone without exception. It would be wonderful :)

Kamis, 20 Oktober 2011

Hidup dengan banyak simpangan (pilihan)


Dia tau
Semua rasa
Dipendam, dikubur, disembunyikan
Dan aku yg jalani, terima saja, terimakasih

Ketika hujan, mendung, dan jadi berkabut, lalu dingin menjalar
Tak terungkap kecuali pelukanMu yg tiba2 buat tenang
Lalu bisa tiba2 menangis, lalu tak lama tertawa, biasa.. hanya pakai sebuah emosi yang dibuat lagi

Sejak kapan itu munculpun aku tak pernah tau
Ketika telah jadi peduli maka itu akan jadi berat

Hanya Tuhan yg tau

Berikan semua yang terbaik untuknya
Ceracau yang buatMu sulit tidur
Lucu sekali, lagi2 aku merupaiMu seperti hambaMu, padahal jelas beda. Ah.. Aku tak tau

Aku masih bisa bertahan. Mungkin..
Tak tahu kalau itu selalu tercekat dan rasanya sama sekali tak enak
Aku berlindung hanya kepadaMu
Dan hanya kepadaMu, aku rela kembali
Mungkin pernah takut, tapi rentetan 2 baris itu buat sakti

Tuhan.. Aku suka permainan ini

"peduli" menjadi hitam-pink
Perpaduan warna yg sempurna

Tuhan.. Telah tahulah Kau ungkapan yang sulit
Lucu.. Selalu buatku lantas ingin menjangkau, tapi jeruji itu tak pantas
Lebih suka buatnya tak terkekang
Hewan liar yang bebas menggeram jika marah, dan menubruk, merangsek lewat sela2 belukar, rapat dan menakutkan, namun jadi seperti menantang. Itu hanya sebuah gambaran (nya)
Dan itu akan tidak indah lagi, lalu hilang percikan api sedikit2 yang tak sabar membakar
Tak suka api itu jadi padam, tapi Kau bisa buat itu tak jadi kobaran kan.. Aku harap..

Hewan liar itu.. Tak terjangkau
Jaga dia ketika melompat, berlari, merangsek, Tuhan.. sabana sekalipun..

Senin, 17 Oktober 2011

Gloomy Days on my Period :\













Hiks! Kenapa nggak ilang2 y sedihnya, khawatirnya dan jadi pengen nangis lagi, lagi, dan lagi.. (dih.. nangis apa hobi?!). Rasanya hampir sama seperti zaman kerusuhan dulu. Ketika saya masih SD dan Kakak saya SMP. Rumah kami yg bersebelahan dengan perumahan yg ditempati mayoritas Chinese, jadi ikut waspada. Ibu saya mengepak surat2 berharga untuk mudah langsung dibawa ketika situasinya menjadi tak kondusif lagi. Saya yang masih kecil saat itu berpikir kalau kami harus pindah rumah, dan serta merta menangis memeluk kakak saya, karena tidak mau pindah rumah meskipun kakak saya telah memberi pengertian kalau kita tidak akan pindah jika kondisinya membaik.

Hua.. Ternyata memori yang membuat kita sulit dan mudah meninggalkan sesuatu. Langsung ingat masa itu ketika akhirnya mendengar beberapa teman kosan memutuskan untuk pindah jika tak ada tindakan lanjutan dari pihak penjaga dan pemilik kosan untuk meningkatkan keamanan kosan. Entahlah.. Mungkin saya juga sedang datang bulan hingga tak stabil emosinya atau apa (tp biasanya juga gak gini2 teuing da'TT), saya jadi lebih sedih dari biasanya. Dan seperti sangat tidak ingin mereka pergi. Mungkin ada unsur egois juga ketika tak mau ditinggalkan, makanya, walaupun itu menjadi lumayan berat, saya berusaha untuk tak terlalu menunjukannya (Bohong! Saya tulis ekspresi itu d jejaring sosial, cerita kepada kakak saya, diekspresikan di blog, dan cerita sm temen chat. Huks2..). Karena yang ada di kepala saya saat ini adalah: Kalau nggak ada mereka, pasti nggak seru lagi :\

Sabtu, 08 Oktober 2011

Intermezo pasca 3 Oktober 2011


Hohoho.. 3 Oktober itu hari lahirku lowh.. Sekedar informasi biar tak bertanya2 apa pentingnya tgl segitu. Penting buat gua [nyengir lebar dengan cuping hidup dimegarkan, bangga. Hehehehe..]

Malam itu, kayaknya tgl 5 Oktober 2011, aku dan uda berbincang, tak ada yg penting, cuma ngobrol seperti hari2 biasanya kalau kami sedang nggak ada kerjaan (biasanya jg gak ngerjain apa2, padahal mh kerjaan ada. Gak harus disebutin kan kalo kerjaan itu tak lain dan tak bukan adalah skripsi. Grrr.. kesebut) Iya.. tiba2 obrolan mengarah ke tragedi 3 Oktober 2011 kemarin, sekitar pukul 20an. Saya, sebut saja korbannya, diajak makan ke warung ibu (warung nasi deket kosan yg enak dan murah meriah, jd anak2 kosan betah di Kindah, bukannya cepet2 selesein skripsi dan minggat. Heheu..) Dan ternyata ajakan makan itu hanya modus mereka, Saudara2.. Seperti yg telah saya katakan sebelumnya, saya sebagai korbannya diikat dengan menggunakan spanduk (gak elit banget). Baru aja keluar dr gerbang kosan, Helsa menyergap saya, tangan saya dipuntir ke belakang (lowh ko'bisa?!), yah.. maksudnya dikebelakangin biar saya nggak berkutik. Awalnya karena langsung tau mau diapa-apain y normalnya saya meronta-ronta, tapi tak kunjung lepas, malah dapet bantuan dari Uda (sial). Mereka lalu bawa spanduk untuk mempermudah mengikat saya. Huuu.. Nggak elit banget kan.. Lalu saya digiring ke jalan menuju sawah belakang kosan. Gelap bo'.. Dan saya pun meronta-ronta lagi, tapi gagal (lagi). Dan penggiringan itupun berakhir di tanah lapang tak terlalu besar sebelum jalan kecil menuju sawah. Glegh! Langsung tau deh bakal dimandiin pake'bahan2 yang biasa buat adonan kue. Apalagi kalo bukan air seember, telor plus tepung terigu, cuma minus minyak goreng, gula, sama backing powder ajah, kalo nggak mh, saya udah siap panggang. Heu.. Yak! Proses itu berlangsung cepat, saya bisa merasakan telor plus kulit2nya ditempelin dimuka saya. Nikmat.. Itung2 maskeran gratis, soalnya wajah saya jadi mengencang sebelum bilas pake'sabun. Heheheh..Dan jadilah saya tontonan anak2 satu Kindah.. "Cieee.. Yang ulang taun.. Selamet ye.." Glegh! (lagi) *pasang muka beton. pergi ke kamar mandi dan bilas. Untungnya Sindy dan Helsa bersedia bawakan saya baju ganti, handuk, dan peralatan mandi ke bawah. Huuu.. Yang kena peluk cuma Sindy. Yang lainnya curang, langsung pada masuk ke kamarnya Helsa (hiks! Dendam)

Setelah kelar mandi langsung ke kamar. Di depan kamar udah nongkrong lagi, Uda, Arif, dan Bella. Pikir cuma sekedar nongkrong. Gak taunya begitu buka pintu kamar yang curiganya gak terkunci, di dalem udah ada Sindy dan Helsa megang kue sambil nyanyi "Happy B day". Oooow.. Manis banget mereka. Begitu lagu abis dinyanyiin, mereka nyuruh aku untuk "make a wish" dan Helsa dg semangatnya nyuruh potong kue, karena dah gak sabar buat nyocol sepotong. Ahahaha.. Dasar!

Terakhir.. Aku cuma bisa bilang "Aku cinta kalian" di video yang direkam pake' HPnya Bella.. Dan aku bersyukur masih ada yg mau jd temanku, repot2 bikin rusuh Kindah lagi'. Hehehe.. Dan untuk teman2 kelasku, yang nyusul dg kejutan kue ulangtahun lagi... Menerjang angin malam nan dingin, capek2 dari Ciseke dan Cibesi ke Sukawening, Hadi (suami sewaan), Fahri (engkoh2 Cina), dan Adit (si hamba Allah) plus Reza (anak manusia yg kecewa sm kehidupan di sekitarnya :p). Romantis banget kannnn... Hm.. Aku beruntung sekali. Aku akan belajar untuk tidak jadi egois, karena punya orang2 di sekitarku yang sangat peduli kepadaku, karena tak hanya hidup sendiri, karena tak mau kehilangan lagi. Aku akan berusaha untuk lebih peduli :)

Dan kata itu terucap, ketika kami berbincang tentang tragedi 3 Oktober lalu. "Itu karena sayang.." katanya. Glegh! Tak ada yg keluar saat itu selain diawali dengan senyum yang mengembang sempurna, tapi malu. Dan akhirnya cuma dibales dengan mati2an nahan malu "Wah... Kalo kata Helsa, malem ini wita tidur sambil senyum nih.. hahaha.. " Kataku akhirnya; Dan kami berdua tersenyum. Entah apa yg dipikirkan. Aku?? Tentu saja bahagia luar biasa. Semoga kami bisa berteman seumur hidup. Amiiin.. Itu salah satu doaku waktu tiup lilin lowh, selain cepet lulus :D

Thank to GOD n u all, My friends, for that priceless moment ^*^

Minggu, 02 Oktober 2011

Coba lagi-Teh-Menunggu-Pergi


Pagi ini seperti biasa. Aku tak bangun pagi, tapi tak keburu kepanasan juga dengan teriknya matahari siang. Kebiasaan begadang jadi buat tak mampu bangun dini hari. Gawat memang.

Pagi ini, seperti biasa, mulutku hambar, harus mengecap sesuatu, jadi seperti hari2 biasanya, ku jerang air, dan menyiapkan minuman hangat. Udara di kosanku yang walaupun sudah tak pagi, tapi belum siang juga, masih berasa dingin, jadi cocoklah minuman hangat itu mengepul, dan dinikmati dari beranda depan kamar, biasanya sambil ngobrol dengan teman sebelah kamarku yang punya kebiasaan yang sama. Menyeduh minuman hangat di pagi hari :)

Teh, kopi?? Hm.. Aku mulai berpikir. Aku ambil 1 sachet kopi, tapi kemudian kutaruh lagi, aku putuskan untuk menyeduh teh saja, selalu berpikir kalau teh lebih ringan ketimbang kopi, dan aku sedang ingin yang ringan, lagipula teh buatanku, resep ibu, selalu enak. Tehnya tak disajikan instan dengan mencelup kantong teh ke air panas yang kemudian larut perlahan dan berubah warna, tidak. Teh resep ibu itu selalu disaring. Teh bubuk yang masih terlihat daun2 dan batang kecil2nya itu diseduh, didiamkan sesaat, baru disaring ampasnya untuk dituang airnya ke gelas yang telah diberi gula. Rasanya? Jangan tanya.. Jauh lebih sedep dari yang celupan. Lagipula, teh tubruk lebih ramah lingkungan, karena tak meninggalkan sampah kantung tehnya. Hehehe..

Teh tubruk manis hangat siap. Hemh.. Aku menikmati wanginya, menghembuskan nafas, begitu nikmat, ditambah dengan udara pagi ini yang ternyata tak terlalu panas. Lalu aku teringat tugas akhirku, skripsi, yang tak kunjung kusentuh. Ada rasa ingin bergumul lagi dengan itu, tapi aku masih harus menunggu sumber dataku yang belum datang karena memang seharusnya akan datang besok lusa, lalu aku menghirup lagi sedikit teh manisku. Masih menunggu.

"Mau ke mana hari ini?" Tanya teman sekamarku saat kami berbincang. Ritual rutin pagi kami.
"Hm.. Entah.. Ke kampus barangkali.." Selorohku, lebih karena sebenarnya tak begitu penting untuk ke kampus. Lalu kutanya dia balik, ia mengangguk, menyamakan rencana, lalu memutuskan untuk pergi bersama.

Kuseruput genangan terakhir di dasar cangkirku. Tak mau tersisa, lalu mandi, dan pergi. Pagi hari ini masih belum ada yang spesial.

*Kisah nyata hari2 wita. Ckck.. --"

Persahabatan Bagai Kepompong


Dia bilang "Ya.. terserah sih kalo elo lebih percaya dia daripada gue, kalo elo lebih percaya sama temen yang baru elo kenal.."

Bisa2 aku memutar bola mataku, tapi kutahan. Hanya menghujat dalam hati kalau aku akan berpikir ulang untuk pernyataan yang ia lontarkan. Aku kan masih punya otak. Masih bisa mempertimbangkan hal2 macam itu. Huh! tapi akhirnya memberikan dia rasa aman dengan menyakinkannya bahwa aku juga akan berpikir begitu. Aku akhirnya harus meyakinkannya kalau aku akan lebih percaya dia daripada teman yang baru saja aku temui. Baka!

Semoga bisa bertahan lama persahabatan ini.. :)

Senin, 26 September 2011

insecure


Menjadi insecure saat sebenarnya seorang ambivert harus jadi extrovert. Semua yang seharusnya disimpan rapat2 karena akan berantakan saat beberapa orang tahu, harus akhirnya dibeberkan juga. Dan itu yang paling bisa buat sesal, karena aku tak akan lagi punya kejutan2 yang tak terprediksi, karena mungkin telah ada campur tangan dari luar yang kalaupun akhirnya akan jadi menyenangkan, tapi itu akan seperti menjadi lebih mudah dari yang sebelumnya, karena sudah tahu pasti. Hmh.. Memang susah menjaga rahasia, apalagi saat otakmu lebih tumpul dari dengkulmu. Saat kau tiba2 akhirnya bersuara, berbicara, lalu berpikir kalau itu akan merugikanmu. *hembuskan nafas.

Menjadi insecure. Saat ini, itu yang hadir, karena sudah terlalu banyak, secara sengaja dan tidak, menjadi ekstrovert. Seperti yang telah kubilang tadi. Sudah terlalu banyak tentang yang aku lebih suka sembunyikan, disodorkan dengan cuma2. Hah! Nah, ini jadi dilema baru, ketika ternyata kau masih takut untuk "menelanjangi" dirimu sendiri. Tapi.. Nggak juga, karena aku tahu harus bagaimana aku "menelanjangi" diri, maksudku, bukan cara "menelanjangi" seperti yang telah sengaja&tidak sengaja telah ku lakukan, tapi dengan cara lain. Bukan "menelanjangi" dengan hanya bicara. Haduh!

Bukannya aku tak senang membaginya kepada teman2 terdekatku, tapi masalahnya adalah tempatku membagi itu yang kurang pas. Masalahnya, mereka semua bisa mendengar percakapan kami, dan aku kenal mereka, paling tidak, aku telah menjadi bagian dari mereka, jadi.. Glegh! Harus ku akui aku bisa jadi sangat malu karena rahasia2ku itu. Y Tuhan... Makannya Kau menganjurkan untuk tak bicarakan hal2 yang tak banyak memberi manfaat untuk c penutur kan.. Dan untuk merendahkan suara bagi wanita. Ya.. Ya.. Ternyata itu memang penting, mungkin aku harus juga belajar untuk menjaga tone suaraku ketika bicara, karena tak jarang, aku juga merasa terganggu oleh suara2 bising, dan mungkin citraku telah kusam, sejak tak sadar telah buat ribut di depan dua orang tua di warung itu. Glegh! Apa kabar penampilan dan citraku sebagai seorang wanita yang telah berpenampilan lumayan muslimah? Hiks! Mungkin Tuhan sudah lama geleng2, putus asa dengan sikapku. GR!

Jumat, 23 September 2011

Kayu Pahatan


Hai, kayu pahatan, ayahku seorang seniman, dia pelukis, jalanan. Meskipun uangnya jadi tak banyak karena bergantung dari pesanan orang, tapi aku bangga padanya. Dia selalu melukis yang beda dari yang dilukis orang2 pada umumnya, makanya bisa dibilang ayahku miskin, karena melukis kadang tak sesuai dengan keinginan pemesan. Ia hanya melihat dan menuangkan karakter sesuatu yang ia lukis ke dalam kanvas. Dan aku selalu menyukai lukisannya. Aku selalu berharap darahnya mengalir ke dalam tubuhku, tapi tidak untuk melukis.

Suatu hari ibuku sakit, dan aku harus tinggal berdua saja dengan ayah. Ibu menghembuskan nafas terakhirnya, di pembaringan, telat penanganan dari pihak rumah sakit, aku yang masih kecil saat itu telah tahu bahwa ibuku harus cepat ditolong, dan menjadi khawatir ketika tak seorangpun yang berseragam putih menyentuh tubuh ibuku yang mulai pucat. Aku meraung2 saat ibu mulai memejamkan matanya, ayah hanya terpengkur disamping ibu sambil menggenggam erat tangan wanita kurus itu. Kami berdua menunduk, memanjatkan doa untuk ibu. Aku menangis sesenggukan, terkadang ayah membungkung dan memelukku, membenamkan kepalaku ke dadanya yang juga kurus agar pecah tangisku tak terlalu terdengar.

“Aku harus ke tempat kerja hari ini, Yah.. jadi aku akan pulang telat.” Pesanku pada ayah pagi itu. Ayah terlihat sedang membersihkan kuas2nya. Makin tirus tulang pipinya. Aku mengernyit, memandang sosok ayahku dengan sedih lalu cepat2 berlalu keluar apartemen bobrok milik kami.

“Sedang apa, Dis?” Rio, sosok laki2 berperawakan necis, menyapaku, menghampiriku yang sedang meraut sebatang kayu yang kutemukan dijalan seperjalanan ke tempat kerjaku. “Wow! Lagi2.. Kau seharusnya menjadi pemahat bukan pelayan di cafe ini. Hahaha.. nampaknya kau kesulitan berinteraksi dengan pelanggan.” Rio meledek, disambut anggukkan kecil dariku, lalu berhenti mengikir kayu tadi, dan memandangnya sebentar. Dia tak pernah tahu aku menyukainya, Rio memang metro seksual, tapi dia sangat gentle, dan sama sekali tak mirip banci. Dia hanya cukup memperhatikan penampilannya. Lelaki dengan kulit tak putih, tak sawo matang juga, tinggi, dan punya wajah yang baru aku bisa sebut ganteng. Yah.. beruntungnya dia tak pernah tahu aku selalu hampir meleleh kalau berinteraksi dengannya.

Diam beberapa menit setelah kami saling menatap, dengan mimik datarku ketika sepersekian menit tadi menatap dia. Rio akhirnya buka percakapan lagi.

“Hey.. Kau ini seniman berbakat, Dis.. dan aku gatal ingin menunjukkanmu kepada orang2. Aku akan buat pameran foto di cafe ini minggu depan, dan kau harus kumpulkan dan serahkan semua karya kayu lapuk yang telah kau ukir selama ini kepadaku. Kau mau kan?” Rio menyeringai, disusul aku yang refleks membelalakan mataku. “Tak mungkin!” pekikku dalam hati. Itu akan menjadi seperti aku harus berjoget di atas panggung. Hey! Apa2an..

“Tidak.. Tidak..!” jawabku akhirnya. “Aku tak bisa melakukan itu.” Jawabku gugup

“Kenapa?” Rio mengernyit. Aku memutar otak.

“Karena... Karena aku telah membuang semuanya. Aku tak pernah menyimpan mereka semua setelah selesai mengukirnya..” Jawabku lagi masih gugup

“Hm.. begitu.. Sayang sekali y..” tampak muka kecewa Rio, lalu dia pamit, setelah menengok jam tangannya. Aku hanya mengantar kepergiannya dengan khawatir. Takut dia tak mau lagi menyapaku, dan aku akan kehilangannya. Semoga tidak.

Siang ini aku melihat seorang wanita muda memperhatikan ayah melukis. Wajahnya berbinar, kelihatan sekali mengagumi lukisan2 ayah. Aku penasaran, tapi lalu memutuskan untuk pulang.

Dia datang lagi, tapi masih seperti kemarin. Ayah tak menghiraukannya, dan dia masih tetap mengagumi lukisan2 ayah. Wanita itu.. Nampak feminin, walau tak begitu cantik, tapi parasnya manis, dia membungkuk dengan posisi kedua tangannya menelungkup di lututnya. Aku jadi mengagumi dia, manis sekali, mungkin dia seumuranku.

“Glad, kau baik2 saja??” Parau suara ayahku beriringan dengan munculnya sosok itu ke dalam kamarku. Aku mengangguk.

“Hanya demam. Mungkin karena kehujanan kemarin malam.” Aku tak ingin buatnya khawatir.

“Akan kubuatkan bubur untukmu y..” Tutupnya, lalu ia pergi ke dapur untuk mulai memasak. Aku memandangi sosok kurus itu. Lalu muncul kejailan untuk menggodanya sedikit.

“Siapa wanita muda yang selalu mengagumi lukisan ayah, Yah..?” Tanyaku dengan menaikkan volume suara agak tinggi hingga bisa ayahku dengar.

“Siapa??” Tanyanya balik. Aku terkikik, berpikir kalau ayah mungkin malu dengan pertanyaanku.

“Yang wajahnya manis dan selalu berbinar saat melihat lukisan ayah.” Terangku sedikit.

“Hah?? Oh.. hanya anak keluarga bangsawan yang mampir sesekali..” Jawabnya singkat.

Aku gantian yang bengong. Masa’bisa tak diindahkan olehnya sedikitpun? Siapa tahu kan, dia mau memborong lukisan2 ayah. Aku menghembuskan nafas berat, dan memilih untuk tidur.

“Darimana kau dapatkan mereka?!” Aku melotot ke arah Rio saat melihat semua pahatan kayuku dipajang bersamaan dengan pameran foto Rio. Dia malah tersenyum manis. Aku tak bisa bohong kalau dia benar2 mempesona. Ah.. Jas hitam yang dia pakai untuk melapisi kaos oblong dan celana jeansnya sesuai untuk membuat penampilannya menjadi formal. Dia mengamit tanganku, sedikit menyeretku untuk berjalan ke suatu tempat, yang aku rasa aku akan terus2an khawatir berada di tempat macam ini lama2. Dan benar saja. Sampailah aku dihadapan orang2 parlente yang berjas dan bergaun plus gaya elegan. Aku menelan ludah. Masih berusaha mengontrol diriku, agar tak refleks kabur dari tempat itu.

“Gladis.. Ini Tuan Frans, sponsor tunggal acara ini. Tuan Frans, ini Gladis, wanita yang membuat semua pahatan kayu itu.” Aku gemetaran, Rio benar2 mengenalkanku kepada orang penting. Aku jadi menyeringai, bukannya tersenyum sopan dan memberi salam. Sial! Tapi diluar dugaan, Tuan Frans itu dengan hangat menyambutku, menjabat tanganku, dan bahkan memuji karyaku. Dia tak percaya dan mulai membelalakan matanya saat tahu aku tak pernah sekolah untuk keterampilan yang kumiliki itu. Tuan Frans kemudian memperkenalkanku kepada seseorang, wanita cantik dengan rambut coklat ikal sepantaranku. Aku melotot. Dia wanita yang sering kepergok olehku di tempat ayah memajang lukisan2nya. Dia tersenyum ramah, benar2 anggun, lalu Rio menjajarinya, tunangan, katanya. Aku hampir saja menjadi kaku seperti pahatan2 yang terpajang di sana. Tak melihat pada apapun, tak juga mengeluarkan suara. Yang aku tahu, aku hanya sanggup membetulkan tenggorokanku yang tercekat, dan buru2 pergi meninggalkan mereka semua.

Bodohnya aku, Ibu.. Bagaimana aku bisa berani suka kepada Rio. Jelas aku tahu dia berbeda, tapi.. tapi.. Aku mengerang2 bak anak kecil. Terus menunduk di atas pusara ibu, sampai hampir tenggelam matahari, dan aku yang masih terpukul, memutuskan untuk kembali. Dengan mata sembab.

“Maaf, Gladis.. Aku benar2 khawatir padamu..” Aku mengernyit, memalingkan muka, walau pasti Rio tahu aku habis menangis, tapi tetap saja aku tak mau mereka semua, tuan Frans dan anaknya itu jelas melihat kondisiku.

Rio putus asa membujukku untuk memberikan perhatianku sedikit saja kepadanya.

“Baiklah, mungkin aku hanya bisa berikan berita baik ini untukmu. Kalau Freya sangat suka dengan lukisan ayahmu, dan ingin beliau menjadi guru melukisnya.” Rio mengakhiri kata2nya. Melihatku sedikit terjadi perubahan, Rio kemudian berkata lagi. “Bukankah itu bagus.” Lalu memaksakan dirinya tersenyum.

Aku mengangguk, dan tak bisa kupungkiri, pasti ayah senang mendapat pekerjaan itu. Paling tidak ia tak harus duduk di pinggir jalan dan menunggu ada orang yang berminat pada lukisannya. Paling tidak, ayah bisa lebih santai bekerja dan digaji rutin. Ya.. Aku terhibur dengan berita baik ini. Paling tidak ayah bahagia.

Setelah beberapa penjelasan, Rio, Freya, dan Tuan Frans pergi. Aku terpengkur, masih tak percaya dengan semua keajaiban ini. Tapi setelah ini, aku tak bisa tetap tinggal.

“Apa2an kamu, Gladis?! Ayah tidak bisa tinggal di sana sendirian tanpamu. Kau tahu itu kan..” Ayah marah besar saat aku mengutarakan rencanaku.

“Kumohon, Ayah.. Aku tak mau ayah menderita lagi, tapi aku tak bisa tinggal di sana. Pergilah..” Setengah memaksa, aku mendorong lengan lelaki tua itu. sepersekian detik, aku merasakan pipiku panas. Sebuah tamparan melesat, lalu aku seperti mendapat tubrukan sebuah kayu gelondongan. Keras, dan kaku.

“Mereka bisa membayarku mahal dengan uang emas, tapi hartaku yang paling berharga ada di sini, dan aku tak akan mengulang hal yang sama untuk melepaskan satu yang telah hilang.”

Setitik air, hangat merembes, membasahi pundakku, lalu degub jantung yang memburu. Aku tahu ayah begitu menyayangi ibu, dan bodohnya aku ketika aku berencana meninggalkannya. Egoisnya aku, saat aku hanya memikirkan sakitnya perasaanku untuk tinggal di rumah mewah itu, dan berencana pergi agar tak jadi sakit. Aku rasakan mukaku mulai panas, lalu aku menumpahkan semuanya, termasuk rasa cemburu kepada Freya yang masih tersisa, yang telah kurencanakan untuk kubawa pergi. Tak terasa, aku telah melepaskan semua itu. Mungkin aku bisa menemani ayahku bekerja lebih mapan. Ya.. Ibu juga pasti akan menyarankanku begitu.

Keesokan harinya, seperjalananku ke tempat kerja, aku menemukan sepotong kayu, bentuknya persegi, teksturnya bagus. Aku memungutnya, memperhatikan sebentar, warnanya yang kemerahmudaan. Sama sekali tak punya pengetahuan, kayu jenis apa itu. Aku tersenyum dan menyusupkannya ke dalam tas selempangku.

“Aku dengar ayahmu dapat pekerjaan bagus, Dis..” Tiara, teman kerjaku menjajariku. Aku mengangguk dan tersenyum ke arahnya. “Apa yang kau lakukan?” Tiara mendorong tubuhnya lebih dekat ke seberang meja bar. Aku mengangkat benda itu, menunjukkannya ke Tiara agar dia bisa melihat dengan lebih leluasa. Tiara membelalakan matanya. “Manisnya..” Aku tersenyum, menunjukkan pahatan kayu berbentuk hati kepadanya. Aku mulai mengikirnya lagi agar lebih halus, dan mulai berkomunikasi lagi dengannya, mereka, kayu2 pahatan. Aku berikan mereka setengah ruhku agar hidup, dan aku mulai mengikir lagi, menikmati setiap rasa yang mungkin dirasakan juga oleh mereka.

…selesai…

Minggu, 18 September 2011

Coba2, ikut2an, belajar. Milly dan Aku :)


Milly dan aku. Kami punya rahasia. Tentang aku dan dia. Hm.. Apanya yang aneh kalau Milly punya bulu lembut keabuan, sedang rambutku coklat keemasan. Milly berkumis, aku tidak. Milly kadang menggaruk kasar kaki kursi dan aku tak perlu melakukan itu. Ya.. Itu kami. Aku dan Milly. Dia sahabatku, aku juga. Bisa dibilang kami sudah seperti satu. Sampai pada suatu hari, Milly berkelakuan baik. Ia tak menngaruk kursi meja makan ketika jam makan tiba, tidak membongkar bola wol milik ibu, tidak menubruk pohon untuk mempermainkan serangga, tidak menolak mandi. Yah.. Hari yang aneh yang pertama kali disaksikan kedua orangtuaku, ketika aku jadi suka meraung2, lompat sana-sini, keluar lewat lubang pintu yang sering dilalui Milly, dan menggaruk kepalaku dengan kaki. Hehehe.. Itu Milly ketika jadi aku, dan aku masuk ke tubuh Milly. Sssst... Kami memang punya hobi baru, dan itu rahasia kami. Sejak aku jatuh dari pohon mapple di halaman rumah dengan hanya disaksikan Milly, kami jadi suka tukar posisi. Entah. ketika itu mata kami beradu, bertautan, lalu semuanya menjadi lain. Ketika aku masuk ke tubuh mini milik Milly, berambut, dan jalan dengan 4 kaki. Aku mengeong, mengelus perlahan mataku dan langsung nyaman kemudian berlalu dari pohon Mapple itu. Yang aku dengar, ibuku menjerit, dan membawa tubuhku yang tak sadarkan diri itu masuk ke dalam rumah. Untung aku tak apa2. Tak patah tulang atau gagar otak, tapi setelah itu, ibuku dibuat pusing 7 keliling olehku yang tak berhenti menjerit, mengerang-ngerang, loncat sana-sini, seperti yang kubilang td.. Dan aku yang lapar, dengan tenangnya berjalan ke dapur, melompat ke meja makan, dan mencuri 1 ekor ikan.

Dan kami bertukar lagi, ketika si bodoh Milly menyetrum tubuhku dengan menggaruk-garuk kabel pemanas air yang kulitnya mengelupas. Dasar Milly bodoh! Aku kaget seketika dan langsung pingsan. Milly yang kembali ke tubuhnya, kesenangan. Ia langsung kabur ke luar rumah, menajamkan cakarnya yang mulai tumpul. Heuh..

Itu kisah kami. Aku dan Milly. Entah kenapa sejak saat itu, aku dan Milly selalu bertukar badan ketika kami celaka, terutama pada tubuhku, sampai suatu hari ketika aku yang tak hati2, menabrakkan tubuh Milly pada benda bermesin berwarna hijau itu. Ketika itu aku sedang berjalan2 sendirian, dan ketika menyebrang, suara klakson yang keras mengejutkanku, aku malah berlari ke depan, dan benda bermesin lain menubruk tubuh Milly. Aku tak sadarkan diri, Milly yang sedang ada di tubuhku tersentak dan membuat tubuhku pingsan. Aku bisa merasakan sakit, tapi ketika aku bangun, aku tak berdarah, tapi Milly.. Huhu... Aku tak sanggup bercerita lagi.. Aku telah membuatnya pergi. millyku..

Sudah dua tahun sejak kepergian Milly, tapi aku merasa dia tidak benar2 pergi, aku masih suka lewat lubang pintu yang sering dilalui Milly, meski kadang kesusahan karena badanku yang membesar, masih suka mengerang-ngerang, dan menubrukkan badanku ke batang pohon yang ada serangganya. Dan mataku.. kadang biru, kadang hijau. Ibu, pernah menemukan rambut keabuan di kepalaku, padahal aku masih SD.. Masa'aku stres sampai menua. Hehehe. Aneh memang, tapi aku senang, tahu kalau Milly masih bersamaku.

Jumat, 19 Agustus 2011

Puisi Akrostik

Hanya sharing tentang puisi akrostik yang saya buat waktu datang ke RL (writing circle), sabtu, pekan lalu.

Puisi akrostik sendiri adalah puisi yang dibentuk dari huruf2 yang tercantum pada judul puisinya. Huruf2 tersebut bisa saja terletak di awal bait2 puisi ataupun menjadi huruf di akhir bait2 puisi tersebut. (Bener gak y?! Hm.. kesimpulan sendiri c :p) Okelah.. Mungkin biar lebih jelas, ini contoh2 puisi akrostiknya. Check this out! ;)

Ini contoh puisi akrostik yang huruf2 judulnya ditaruh di akhir bait2 isi puisi

Desa
--Arif Hidayat

Bukanlah untaian sajak dalam dongeng ataupun lakon dalam seribu babad
Hanyalah mimpi dan harapan yang terbawa angin kala sore
Tatkala tatap tak lagi terkalang batas
Dalam Imaji berbalur asa yang tak lagi terukir dalam nyata

Nah! Kalau yg kedua ini, contoh puisi akrostik yang huruf2 judul puisinya menjadi huruf awal yang membentuk isi puisi

SEA
--Nanka

Swift winds skim the shores
Echoes from the deep blue green
As wave froth and foam

Setelah dijelaskan panjang lebar tentang puisi tersebut, kami yang datang kemudian dipersilahkan untuk membuat puisi akrostik dengan judul nama kami masing2, dan sayapun mulai mencoba. Karena belum pernah tau sebelumnya tentang puisi akrostik ini, maka saya mencoba membuat puisi tersebut dengan nama pendek saya, tapi parahnya, saya hanya terfokus pada membuat puisi tersebut dengan menaruh huruf2 judulnya di awal, karena lebih mudah daripada harus menempatkannya di akhir bait ^^p. Inilah..

Wita

Walau kata tak suka terucap
Ingat waktu untuk hidup
Tapi keadaan tak mudah mencerna
Akan pinta selalu jelas

Dyah Perwitasari

Dari mata turun ke hati
Yang melihat, yang mengamati, memata2i, menyelidik
Angkuh bertolak, rendah nyali
Hanya sesosok manusia sombong

Paras tak lagi jadi yang terbaik
Elok hati menjadi abadi
Rasa selalu meliputi nurani
Walau otak kadang mendominasi
Itu manusiawi

Tubuh2 sintal penjaja diri
Arus dunia jadi alasan
Sumpah! harga diri jadi tak tinggi lagi
Asal besok bisa makan

Resi tersenyum
Iba lara..

Weeth

Woow indahnya
Elok dilihat dari mana2
Enggan lepas penglihatan
Tangan lentik digerakkan
Hidup tanpa lepas mimik

Dyah hanamichi

Desa..
Ya.. desa
Antara sunyi dan senyap. Ah, bukan diantaranya. Tak begitu juga
Hanya petak2 sawah yang mulai menguning
Hanya hamparan tanah lapang yang sukalah kerbau merumput
Angkuh? tak ada
Namanya Sukanegla
Ada senyum, ramah juga
Memicing mata saat melihat perkasanya. Matahari
Itu bukan alasan untuk geliat di sana
Cukuplah sederhana
Hening kala malam
Ikuti melodi jangkrik, kodok bangkong

Mungkin merasa aneh dengan isi puisi yang tidak berhubungan dengan judul puisi, memang. Hehe.. Beberapa ada yang berhubungan, tapi 2 yang lain bisa dibilang tak ada hubungannya dengan judulnya. Itu karena untuk awal membuat puisi tersebut, kami yang hadir dibebaskan untuk membuat isi puisi lepas dari judulnya, artinya boleh saja tidak berhubungan antara judul puisi dan isi puisinya, tapi menyenangkan. Gak ada ruginya mencoba2 sendiri ^^. Sekian.. Selamat mencoba :)

Rabu, 17 Agustus 2011

Roman Picisan



















udara itu membumbung ke sana
melayang sepersekian senti dari bumi

dan burung2 dara mulai berterbangan
mengantar surat2 cinta yang ditunggu manjikannya
untuk seorang lady yang selalu berdiam dimuka daun jendela dengan sorot mata lembut penuh harap
dan kala sampai surat itu kepadanya, terselip sebatang mawar pink sesemburat darah yang kemudian mengalir ke pipinya, dengan urat2 lembut yang samar nampak
Lalu dibacanya rangkaian kata sambil menari berputar2, sesekali tersipu dan tertawa kecil
Dia bayangkan pemuda kesayangannya, yang harus bekerja, berinteraksi dengan keledai dan pedati, namun selalu tersenyum lembut dan kokoh
Dia berhenti pada satu meja pada sebuah taman mawar koleksinya
Membalas dengan syair2 cinta yang ia sengaja ciptakan untuk menggoda
masih belum pudar semburat merah muda dari pi2nya
masih tersenyum tulus ia seperti haus akan sosok si pria
dan semua bunga seperti mendukung rasa yang ia punya
embunpun membasahi dengan hanya titik2 transparan

merpati kembali terbang
mengantar sebuah harapan, cinta

RencanaNya untuk semua yang dijumpai













Kau akan terperangah jika kau menduga sesuatu yang kau dapatkan, sesuatu yang kau temui, kau anggap sebagai rencanaNya untuk kau pelajari, untuk kau hadapi, untuk kau dengarkan, untuk kau akhirnya harus olah.

Kau akan terperangah, betapa Ia telah memikirkan itu baik2 untuk hambaNya ambil hikmah, untuk hambaNya belajar, untuk hambaNya pahami, untuk hambaNya sekali lagi pelajari, untuk hambaNya kemudian harus renungi, harus akhirnya berkontemplasi, melihat diri, bercermin.

Itu yang dia katakan. Akhir2 ini, yang walau tak jarang buatku keras kepala untuk tetap pada pendirianku, mau tak mau, aku harus mendengarkannya juga, dan itu masuk ke kepala.

"... bukankah memang selalu ada konsekuensi yang kita dapat ketika kita memutuskan untuk melakukan sesuatu. Sekalipun kau akhirnya harus mengorbankan dirimu untuk risiko itu. Entah baik, entah buruk. Kau harus hadapi.. "

Ya.. dia bukan seorang pengecut. Dia bilang tak suka ia jilat ludahnya sendiri, tapi manusia bisa berubah, kita tak pernah tahu, aku harap dia tak jadi harus berubah. Lagi2.. Jangan tinggalkan itu sekalipun itu membuatmu susah, hadapi bersama akan lebih baik hingga kau tak akan sadar telah berhasil menghadapi kesulitan itu. Bersama2. Seorang teman takkan meninggalkan temannya. Aku harus menghela nafas untuk itu. Aku tahu, aku telah jadi teman yang buruk.

Dan terlintas sesaat ketika berbincang dengannya suatu hari, saat aku berpikir kenapa aku harus dengar ocehannya, terutama saat itu tak sesuai dengan apa yang aku pikirkan. Saat itu aku mulai sok tahu dengan berpikir bahwa Dia pasti punya rencana telah mempertemukanku dengannya, dengan semua orang yang telah kujumpai. Ya.. itu pasti. Mungkin.. atau.. hanya pikiran positifku saja yang buatku lalu berpikir demikian. Hah.. Peduli amat! Aku yakini itu, aku pegang itu. Tak ada ruginya juga. Lalu aku jadi lebih bisa santai. Dia temanku, telah direncanakan olahNya untuk aku bertemu dengannya. Dengan senyum ^^,

Selasa, 16 Agustus 2011

Tak sampai satria. Tak sampai kena


Saat ingat
Selalu sedih, selalu gelisah, selalu akhirnya gambari diri suram, jelek, tak baik. Terkutuk

Itu di sana
Masih terbuka, namun tetap saja muram. Tak berani, tak bernyali

Kalau ingat
Jadi munafik selalu
Merindu, namun tak juga maju
Untuk masuk, untuk tampak
Tak..
Tak sampai jadi satria
Hanya raksasa. Penggambarannya pada umumnya

Jangkau tak kena
Selamanya raksasa hadapi itu akhirnya

Aku dan Yang kutinggalkan


"Sebenernya kita bisa ciptakan keluarga di mana2. Tergantung dari mau ato nggaknya kita ciptakan nuansa kekeluargaan itu."

Dia berseloroh. Temanku. Kira2 begitu intinya, walau tak sama persis. Getir. Ada sesuatu yang menggangguku dari ucapannya tadi. Tak senang karena dia telah mengingatkanku pada sesuatu. Sebuah memori. Dia telah menciptakan, mengangkat itu ke permukaan lagi, hingga tak kuasa buatku merengut. Hanya bathin. Lalu aku sepakati ujarannya tadi secara sepihak. Dengan diriku sendiri. Dia benar. Aku bisa saja menciptakan itu, tapi selalu berkelit untuk tak bisa memaksakan sebuah keakraban. Padahal kalau mau positif seperti dia dan YAKIN itu bisa dibentuk, maka itulah yang mayoritas, dominan, sangat mungkin akan terjadi. Yang kau butuhkan hanya sebuah KEYAKINAN UNTUK KEMUDIAN KAU TANAMKAN KE DALAM KEPALAMU, DAN KAU JAGA SEDEMIKIAN RUPA SAMPAI ITU TERWUJUD, MAKA ITU AKAN TERWUJUD. Aku menghela nafas. Sungguh kecil nyaliku, dan aku pikir aku telah berlebihan, seperti yang awal2nya mereka katakan itu kepadaku, tapi tak masuk karena yang kutanam beda. Sebuah penolakan alih2 penerimaan.

Temanku itu, terkadang terlalu berlebihan dengan idealismenya, tapi tak selalu aku mengernyit karena tak setuju. Malah beberapa memiliki ketertarikan yang sama dengannya. Aku tau begitulah teman. Aku tak harus jadi benci dia karena perbedaan, malah itu yang buatku belajar. Yah.. Seperti selorohannya tadi. Lumayan menyadarkanku akan PENTINGNYA SAHABAT.

"Selemah-lemah manusia ialah orang yang tak mau mencari sahabat dan orang yang lebih lemah itu ialah orang yang menyia-nyiakan sahabat yang telah dicari." Ali bib Abi Thalib, dikutip dari Tarbawi, terkirim ke HPku, tercantum Reza XX.

Terimakasih, Dek.. --,

Selasa, 09 Agustus 2011

Dia dan Yang lain


Satu ayat, dua ayat.. seperti tembang yang mendayu lembut menggetarkan tiap helai bulu kuduk. Merayap, menjalar, masuk ke sukma yang paling dasar. Masih putih, masih lugu, atau mungkin belum, ia lantunkan.. lagi dan lagi, sesekali ditinggi-rendahkan seolah melagu. Dengan nada-nada yang ia bentuk sendiri. Dengan rasa yang hanya ia yang atur, dengan emosi yang hanya ia yang bisa pilin. Menjadi serat2 halus pembungkus.

Yang lainnya, punya sendiri caranya, yang tak kasat mata sama, tapi nampak berbeda. Mungkin memang beda, hanya tak punya cukup ilmu untuk menukar itu dengannya. dia.. punya cara sendiri untuk juga mengagungi keberadaanNya. lebih dari itu, dan yang lain juga tau. Namun terkadang sombong, dan hanya menyela dengan kalimat seru tanpa alasan. dia itu Yang lain, yang tidak menembangkan satu ayat.. dua ayat.. tiga ayat.. ribuan.. dia itu Yang lain.. yang jika bertahan, yang lainnya lagi akan berpikir kalau itu tidak salah2 amat.

Kali ini Dia bermunajat. Menyerahkan diri sepenuhnya kepadaNya. Tak bersuara, hanya diam, namun sesekali keningnya beradu, matanya rapat terpejam, kepalanya sesekali mendongak lalu tunduk lagi. Itu hanya caranya berbincang, bersenda gurau, meminta, memohon, memaksa. Sebuah kebutuhan untuk melepaskan yang dirinya anggap salah, kotor, picik. Dia hanya tahu cara itu, istilah tak disenggolnya.

Yang lain, melihat Dia. Mengecek gerak dadanya, menyenggol bahunya, mengguncang tubuhnya. Yang lain, memperhatikannya dengan seksama, lama, lelah, bosan, berlalu. Menganggap itu hanya pantomim palsu. Yang lain, merasakan sesuatu.

Datang waktu, Dia hanya punya rasa tanpa ilmu, Dia bawa beban dipikul, dijinjing ke mana2, terkadang lelah lalu diletakkan begitu saja, sebentar diabaikan, berpura2 tak punya. Dia punya pilihan di persimpangan, untuk bertarung atau tetap damai, untuk bertarung dengan harapan menjadi sama dengannya atau damai namun tetap beda. Dia, lama beban itu ia bawa.

Yang lain. Tetap teguh pendirian, tak ada yang tak beres, semua adem ayem. Dingin, sejuk menyelimuti sukma, bathinnya. Tak boleh diusik, tak boleh diganggu, jika disentuh, siap melawan, siap menyerang, siap tarung. Yang lain berpikir tentram, Yang lain bebas memilih, Yang lain tetap usaha damai. Yang lain tahu dia yang lain, sadar, harus berubah, mungkinkah lumer?

Dia datang, Yang lain tau. Jalan itu telah diputuskan untuk tak damai saja. Maka ditutup yang satu dan diperlebar yang lain, tarung. Dia melempar, ditepis Yang lain. Dia kesulitan.. kesulitan sampai akhir, sudah pasrah kalah, namun Dia tau takkan ada sesal. Yang lain terus memuntahkan peluru. Yang lain naik pitam. Yang lain sesak. Yang lain kecewa. Yang lain menitikkan air mata, hanya dibathin. Yang lain diam2 luluh lantah. diterjang, dihantam, diusik damainya oleh Dia. Dia.. diam seribu kata. Dia bermunajat lagi kepadaNya. Dia memandang haru Yang lain. Yang lain terpukul. Yang lain terhantam. Yang lain tiba2 telah lebam. Entah, sembilu darimana mulai tergores di permukaan hati. Merah menyala seperti darah. Dia putus asa, hanya terus memandang haru Yang lain, dengan belaian, dengan sapuan sepersekian detik Dia bisa lakukan. Yang lain terhenyak. Entah mengapa, Yang lain lumpuh seketika. Yang lain menitikkan air mata, hanya setitik buat Yang lain tersentak. Hanya setitik, buat Yang lain terguncang. Dia jadi tak kuasa. Dia muntahkan semua inginnya, maunya, harapannya, mimpinya, hidupnya. Dia seperti menemukan celah untuk mengganti posisi Yang lain. Dia tak gunakan angkuhnya, hanya sebuah tulus untuk digapai ulurannya oleh Yang lain.