Selasa, 28 Desember 2010

Aku punya segalanya termasuk Dia?


Tuhan, Kau hanya butuh cinta, itu kesimpulanku. Saat Kau mencipta dan ciptaanMu melengos, memalingkan muka dari Mu, Kau akankah sedih?

Tuhan, aku baru saja berpikir. Aku sayang Franklin, hewan peliharaanku, dia tak kucipta, tapi aku cinta dia, dan kalau dia tak membalas cintaku, sudah pasti aku akan sedih

Tuhan, itu yang kupirkan. Bagaimana Kau yg telah dengan pasti walau sedikit pakai usaha. Aku memang tak pernah tahu seberapa besar kekuatanMu, yg jelas, aku cuma ciptaan. Aku tahu itu sangat.. sangat besar, tp tak tahu sangat besar sampai bagaimana? Yah.. Jangan marah Tuhan.. Bukan berarti aku meragukanMu. Tidak! Sama sekali tidak, karena, aku tahu Kau hanya beri aku sedikit sekali kuasa d bumi.

Tuhan, mungkinkah Kau sedih jg dengan ciptaan Mu yg memalingkan muka? Pasti kah Kau kecewa? Tapi sebegitu besarnyakah cintaMu pada kami hingga tetap Kau pantau kami, tetap Kau beri makan kami, tetap Kau beri kebahagiaan, walau aku bisa mafhum jika terkadang Kau harus menghukum kami. Ah, aku mulai sok tau dg menyangka kalau Kau terkadang kesal jg pada kami. Entah.. Aku memang tak pernah tahu. Y kan?!

Tuhan.. Maafkan aku. Aku tak mau kehilangan Mu lebih karena aku memikirkan diriku sendiri, aku sama sekali tak memikirkan perasaan Mu. Aku selalu berharap diberi tanpa mau memberi.

Tuhan.. Saat aku merasa diriku rendah atau tak berguna sampai merasa tak pantas untuk bersanding dengan siapapun, apakah aku melukai Mu? Kau telah susah payah atau mungkin mudah, tapi mau membuatku, dan aku sempurna. Aku tahu. Maksudku. Aku sehat, tak cacat fisik, dan aku puas dengan fisikku, tp rusak jiwa karena apa? y Tuhan.. Maafkan aku.. Aku tak tahu bagaimana aku perbaiki ini, tapi aku akan memulai sesuatu sekarang. Sesuatu, dan Kau pasti tahu itu.

Aku akan belajar untuk mencintai Mu

Maaf aku selalu lancang, tp ingin sekali aku memeluk Mu.. Aku akan berusaha lebih dekat dengan Mu

Tuhan.. Beri aku kesempatan itu, jd teringat wanita yg sedang kepayahan yg ku tau. Semoga Tuhan beri keajaiban untuknya. Semoga dia semakin cantik biar yg laki-lakinya bahagia ..

Akh! Tercabik lg. Maaf Tuhan.. Apa namanya ini? Masokis?

Selasa, 21 Desember 2010

hanya kritik dan perbandingan saja (redudansi)

Senjata itu, ketika diserahkan untuk dijadikan alat terhadap sebuah tujuan yang tidak ingin dilakukan, menurutnya seperti berat gunung dipikul. Rasanya ingin dibanting saja alat itu sampai hancur hingga punya alasan untuk tak menjalankan rencana yang tujuannya tak sesuai dengan hati. Kau tahu? Seperti ingin menghilang dari hadapan petitah. Gerakan lamban itu tandanya. Artinya, tak benar-benar mau menerima titah untuk dijalankan. Ragu. Keraguan.

Dia bicara kepada anaknya tentang kitab Mahabharata. Dengan harapan, anaknya telah paham betul apa yang harus dilakukan seorang ksatria. Harus tertawa nyinyir aku untuknya kalau begitu, karena apakah seorang ksatria juga melakukan hal yang rendah dengan menyingkirkan halangan begitu saja tanpa sepadan halangan yang ia hadapi. Seorang wanita. Dan berarti, bukankah dia harus membunuh dua orang sekaligus dengan hanya membunuh satu, karena satu itu bukan terbentuk hanya olah satu yang ada, tapi dua. Aku tak mau katakan aku sedang bicara tentang apa. Aku tahu aku benci mengatakan kata itu, makanya tidak.

Seorang raja yang tak berpikiran luas kan?! Dia berkata tentang pengorbanan kepada anaknya untuk kebahagiaan rakyat, tapi berkacakah dia kalau sebenarnya dia juga telah tak mau berkorban dan hanya mempertahankan martabatnya sebagai raja. Telah egois dia dengan berpikir bahwa ucapan seorang raja tak mungkin bisa ditarik lagi, dan sangsi moral yang akan ia hadapi dan aku rasa dia telah paham itu. Dia juga mengatakan hal sama. Kalau memang ia tidak berpikir seperti itu, dia toh bisa merundingkannya lagi dengan raja Kediri. Toh mereka masih bersaudara. Apakah tak ada jalan keluar lagi selain bermusyawarah lagi untuk menghindari pertumpahan darah? Toh Raja Jenggala masih punya beberapa anak laki-laki yang bisa dinikahkan dengan Putri Kediri untuk menyatukan dua kerajaan yang dulunya satu. Kenapa harus begitu patuh pada aturan jika akhirnya mengikat dan tak bisa bergerak bebas? Kenapa tidak bisa lebih fleksibel saja untuk mencari jalan keluar yang terbaik? Salah apa keduanya jika mereka juga disatukan karena rasa? Memangnya dia bisa menggantikan rasa yang hilang. Kalau tak bisa bukankah lebih baik rubah caranya?

Akh.. Belum selesai, tapi aku selalu puas dengan jalan cerita macam ini. Yang selalu bisa buatku berkomentar tak baik untuk tokoh yang digambarkan memang semestinya melakukan hal yang ia lakukan, padahal mungkin saja menimbulkan Pro-kontra. Kritis. Manusiawi. Dan sudah lama aku ingin sekali menghujat serial TV yang berbau rohani. Oh.. Sungguh hanya satu yang ku suka, dan itu karangan Dedi Mizwar. Heuh, dia memang keren. Dia tak pernah menampilkan yang berlebihan, sederhana namun mengena. Mereka pikir semuanya harus diungkapkan dengan kata-kata? Oh.. kasihan! Padahal non-verbal lebih banyak muncul dalam komunikasi daripada verbal, tapi yang lain tetap memaksa mengeluarkan emosi lewat kata-kata, padahal mimik lebih penting menurutku. Bagaimana bisa orang simpati kepada orang yang sering mencurahkan yang ia rasa dengan kata-kata. Aku rasa itu hanya akan keluar sebagai keluhan semata atau bahkan ria. Ingin orang lain tahu kalau dia, mereka bertuhan. Maaf, aku hanya tak tahan saja, film itu menjadi banyak digemari sementara aku terganggu dengan erangan tangisan yang meminta ampunan Tuhan untuk orang yang telah mendzalimi mereka atau mengatasnamakan Tuhan untuk menyampaikan apa yang Dia suka dan tidak tanpa menyertakan juga darimana asal Tuhan suka atau tidak suka. Dan tokoh utama yang selalu terlihat sebagai pahlawan, yang tiba-tiba muncul untuk meluruskan perkara dan memberikan petuah-petuah yang baik. Hah! mana baik itu kalau tadi sore, aku yang kebetulan nonton serial TV itu karena memang selalu ditonton anak-anak kostan melihat ganjil yang ironis. Tiba-tiba sang pahlawan datang. Memberi petuah lalu pergi. Apa yang aneh? Yang aneh adalah ketika ia tak melakukan apa-apa untuk yang menjadi korban pendzaliman. Ia bahkan tak membantu membetulkan letak gerobak orang yang didzalimi tersebut yang telah tergeletak, ke posisi yang seharusnya. Hey, sekali lagi!Kalau aku jadi orang itu, aku hanya akan menganggap petuahnya sebagai omong kosong. Dia tak menerapkannya dengan perbuatan. Menyuruh untuk sabar dan anggap musibah itu sebagai cobaan lalu pergi. Hah! Sebenarnya dia peduli atau tidak? Atau hanya mau orang lain menganggap kalau dia orang suci? Cih! Maaf, tapi menurutku itu tak masuk akal sama sekali. Perbuatan harus seiring dengan kata-kata. Dan ketika kau tau yang mana yang benar tapi tak bisa berbuat itu atau belum bisa berbuat yang dibilang benar, maka simpan saja kata-katamu dan keluarkan saja untuk konsumsimu sendiri, jadi bisa menjadi sebuah sentilan, jika kau melakukan kesalahan. Tahan kata-kata sampai kau bisa mengaplikasikannya. Tulis hanya untuk pengingat. Remainder. Yah.. Dan selalu mengena kata-kata itu saat ditorehkan dengan rasa. Setidaknya aku merasa begitu, makannya seorang penulis-penulis yang keren, aku yakin punya perasaan lebih sensitif dari yang tidak menulis.

Salam ku untuk semua yg menulis. Hanya lewat Dunia tanpa suara dg barisan kata-kata :)

Sabtu, 04 Desember 2010


Ketika aku melihat ke depan dan tiba-tiba yang lalu hilang. Sebuah kebahagiaan yang mungkin akan muncul dan setidaknya satu beban berkurang. Sama seperti yang lainnya, aku ingin membahagiakan mereka, dan tak boleh aku menyerah. Harus kuperjuangkanlah sesuatu itu dan aku harap dilancarkan.

Ketika aku bertemu dengannya, dan semuanya yang sebelumnya buatku tak fokus sesaat hilang, dan aku harap bisa tetap fokus sampai waktu yang kutunggu datang. Dan aku bisa melempar toga itu dengan senyum mengembang, lalu memeluk mereka, aku harap tak sampai berlinang. Bagaimanapun bodoh dan nakalnya aku, dua orang itu yang ingin sekali aku buat bahagia agar mereka tak merasa sia-sia. Hahah..

Siap. Dan aku harus bisa. Sebuah optimisme baru. Yuhu!! Mudahkan kami Tuhan..

Rabu, 01 Desember 2010

Dunia tanpa suara yang tak terjangkau


Hanya terdengar detik jam dan jangkrik saat itu. Ketika kau mulai membuatku merasa seperti seonggok kucing kecil liar yang dibuang. Ketika seperti aku harus merasa dikasihani dan mendapatkan kasih sayang. Aku tak perlu itu darimu. Bisa aku dapatkan bukan dari sesuatu yang akhirnya kau tau dari orang terdekatku. Aku masih bisa berjalan dan mencari keamanan, setidaknya untuk organ vitalku yang merasa terancam. Ah.. Aku sungguh berlebihan, aku tau. Tapi bukan situasi seperti ini yang aku mau. Heeh.. Dan kalu memang yang natural itu tak ada, mungkin aku memang tak bisa menerapkannya, setidaknya untuk di dunia pada umumnya manusia gunakan. Entah.. Apa itu, seperti aku masih yakin menggunakannya, memegangnya, membuatnya ada di duniaku. Mungkin hanya aku atau orang-orang tertentu yang tak normal? Abnormal? Kau tau, aku seperti ingin pergi ke dunia tanpa suara, dimana aku bisa mengacak-acak segalanya tanpa perlu takut dihujat atau dibantah. Dimana mungkin aku jadi bisa berkata-kata, lalu akan kutorehkan setiap kata itu pada dinding ruang kosong dan memenuhi setiap jengkal, jarak di dinding. Akan aku penuhi lalu pindah lagi ke tempat lain, melihat tembok-tembok milik orang lain. pindah dari satu ruang ke ruang yang lainnya, lalu akan kuperhatikan milikmu. Seperti apa sebenarnya kau. Akan aku perhatikan dengan seksama, akan hati-hati aku membacanya, dan akan aku cermati maknannya, yang mungkin hanya persepsi karena aku bahkan tak mampu berbicara dengannya. Tentu saja, kami berada di dunia tanpa suara milikku, dan tentu saja peraturannya adalah tak ada suara, hanya kata-kata. Dan aku akan bergantian melihat mimikmu, melihat gesturmu, melihat setiap petunjuk yang kau buat oleh setiap gerakan tubuh. Tengklengan kepala, tatapan, postur, dan semuannya yang kau tunjukkan untuk berkomunikasi secara non-verbal saat verbal hanya berupa kata-kata yang dirangkai di permukaan dinding. Aku benci mendengarnya. Suara detik jam dan jangkrik itu menggangguku. Bukan karena mereka tak enak didengar, lebih kepada hening yang tiba-tiba muncul bersamaan dengan dua bunyi yang jelas terdengar tersebut. Kau tau, seperti sendiri rasanya dan aku jadi tak fokus pada apa yang sedang ku baca dan mau tak mau aku jadi harus pergi menghadap keyboard dan monitor untuk segera menumpahkan semua yang kurasakan. Kau tak tau kan?! Ya tentu saja. Karena aku sedang berada di dunia tanpa suara milikku. Aku cukup toleran bukan? Aku membuat dunia tanpa suaraku sendiri, karena tahu Tuhan begitu perkasa. Dia tak membiarkan duniaNya sepi, Dia buat itu menjadi ramai dan berwarna, dengan berbagai macam suara hingga kita bisa melihat indahnya dunia. Hanya indah kah?? Kata apa lagi yang mau aku pakai untuk menggambarkanNya? Dia memang indah, walau buruk menjadi penyeimbangnya, namun buruk masuk ke dalam kategori indah saat ditujukan untukNya. Yeah.. Cukup terlihat sebagai anak yang baik kan??

Arrrgh!!! Aku ingin sekali berteriak. Kenapa mereka tidak bisa membuatku bahagia sementara kau iya?! Aku bisa saja bersenang-senang dengan mereka, tp tidak. Aku memang melakukan itu, tp, kau tau?! Tidak dengan yang sebenarnya. Aku tak bisa benar-benar tertawa, atau marah, atau sedih karena mereka. Aku tidak bisa benar-benar fokus pada mereka. Aku menjadi seperti robot yang diprogram untuk merespon tanpa rasa. Mesin. Jadi sebuah mesin, dan itu mengerikan.


Sudahlah.. Aku mengerti. Aku telah membuatmu bingung. Dunia tanpa suaraku tak terjangkau olehmu dan itu yang membuatmu bingung. Dan salahku karena aku tak mau keluar dari dunia tanpa suaraku, aku kekeuh berada di sana sampai cerita akhirku usai, mungkin tidak juga. Sampai waktu yang aku ingin tahu dengan hanya melalui dunia tanpa suaraku tiba. Dan aku juga telah membuat mereka tak mengerti pada jalan pikiranku, pada apa yang telah kurencanakan, pada apa yang akan ku bentuk. Mereka semua berpendapat lain dan menurutku itu masuk akal sekali hingga akupun sebenarnya bisa merubah permainanku, tapi entah, aku lebih memilih caraku. Walau buatku lumpuh namun aku menikmatinya, menjadi semacam kegilaan. Ah.. Gila! Aku tak mau jd orang gila. Mungkin aku perlu berdialog dengan pria itu, yang menurutnya hampir jd orang gila dia, lalu kembali ke jalan yang mungkin sudah semestinya. Bagaimana aku tau itu semestinya? Semestinya menjadi subjektif namun bisa digeneralisasi. Makin bingung toh? Tak.. Aku telah punya gambaran sendiri di benakku. Kata "otak" menjadi seperti tinggi, jadi benak saja.

Melantur.. Sudah mulailah aku melantur, dan aku belum membaca habis semua materi untuk besok. Dan ini semua gara-gara kamu kah? Yeah.. Oh.. Maaf.. Aku tak tau. Mungkin juga tak sepenuhnya. Hanya salahku yang ternyata begitu memikirkanmu. Jadi bukan salahmu, hanya aku tak punya pilihan. Aku tak bisa menyuruh hatiku untuk tak memikirkanmu atau memikirkanmu toh? Itu hadir begitu saja, dan aku takut terpuruk, semoga tidak. Kau juga harus mendoakanku. Ah.. tidaklah.. Aku, satu-satunya, yang harus bertanggung jawab atas semuanya, termasuk juga diriku sendiri. Ya kan?! Untunglah.. Suara detik jam dan jangkrik itu sudah ditimpa oleh suara-suara lainnya, aku tak sendiri lagi. Hanya tadi. Sepersekian detik ketika kau mengatakan hal yang buatku tiba-tiba harus fokus padamu lagi dan menyingkirkan materi yang akan kubaca. Sial! Bisa-bisanya buatku begitu. Siapa kau hah?? Kau bukan raja, presiden, bahkan nabi, tapi beri sedikit kuasa kepada sebagian organ vitalku. Tau dari mana sebagian. Entah. aku hanya benci kalau itu menjadi menguasai seluruhnya. Aku jadi tak punya kuasa atas diriku jadinya, makannya aku lebih suka membuatnya menjadi hanya sebagian. Yeah.. Mungkin itu lebih benar untukku.

Well done! Dunia tanpa suara berhasil menyimpan memoriku. Sebuah pensive.