Jumat, 23 September 2011

Kayu Pahatan


Hai, kayu pahatan, ayahku seorang seniman, dia pelukis, jalanan. Meskipun uangnya jadi tak banyak karena bergantung dari pesanan orang, tapi aku bangga padanya. Dia selalu melukis yang beda dari yang dilukis orang2 pada umumnya, makanya bisa dibilang ayahku miskin, karena melukis kadang tak sesuai dengan keinginan pemesan. Ia hanya melihat dan menuangkan karakter sesuatu yang ia lukis ke dalam kanvas. Dan aku selalu menyukai lukisannya. Aku selalu berharap darahnya mengalir ke dalam tubuhku, tapi tidak untuk melukis.

Suatu hari ibuku sakit, dan aku harus tinggal berdua saja dengan ayah. Ibu menghembuskan nafas terakhirnya, di pembaringan, telat penanganan dari pihak rumah sakit, aku yang masih kecil saat itu telah tahu bahwa ibuku harus cepat ditolong, dan menjadi khawatir ketika tak seorangpun yang berseragam putih menyentuh tubuh ibuku yang mulai pucat. Aku meraung2 saat ibu mulai memejamkan matanya, ayah hanya terpengkur disamping ibu sambil menggenggam erat tangan wanita kurus itu. Kami berdua menunduk, memanjatkan doa untuk ibu. Aku menangis sesenggukan, terkadang ayah membungkung dan memelukku, membenamkan kepalaku ke dadanya yang juga kurus agar pecah tangisku tak terlalu terdengar.

“Aku harus ke tempat kerja hari ini, Yah.. jadi aku akan pulang telat.” Pesanku pada ayah pagi itu. Ayah terlihat sedang membersihkan kuas2nya. Makin tirus tulang pipinya. Aku mengernyit, memandang sosok ayahku dengan sedih lalu cepat2 berlalu keluar apartemen bobrok milik kami.

“Sedang apa, Dis?” Rio, sosok laki2 berperawakan necis, menyapaku, menghampiriku yang sedang meraut sebatang kayu yang kutemukan dijalan seperjalanan ke tempat kerjaku. “Wow! Lagi2.. Kau seharusnya menjadi pemahat bukan pelayan di cafe ini. Hahaha.. nampaknya kau kesulitan berinteraksi dengan pelanggan.” Rio meledek, disambut anggukkan kecil dariku, lalu berhenti mengikir kayu tadi, dan memandangnya sebentar. Dia tak pernah tahu aku menyukainya, Rio memang metro seksual, tapi dia sangat gentle, dan sama sekali tak mirip banci. Dia hanya cukup memperhatikan penampilannya. Lelaki dengan kulit tak putih, tak sawo matang juga, tinggi, dan punya wajah yang baru aku bisa sebut ganteng. Yah.. beruntungnya dia tak pernah tahu aku selalu hampir meleleh kalau berinteraksi dengannya.

Diam beberapa menit setelah kami saling menatap, dengan mimik datarku ketika sepersekian menit tadi menatap dia. Rio akhirnya buka percakapan lagi.

“Hey.. Kau ini seniman berbakat, Dis.. dan aku gatal ingin menunjukkanmu kepada orang2. Aku akan buat pameran foto di cafe ini minggu depan, dan kau harus kumpulkan dan serahkan semua karya kayu lapuk yang telah kau ukir selama ini kepadaku. Kau mau kan?” Rio menyeringai, disusul aku yang refleks membelalakan mataku. “Tak mungkin!” pekikku dalam hati. Itu akan menjadi seperti aku harus berjoget di atas panggung. Hey! Apa2an..

“Tidak.. Tidak..!” jawabku akhirnya. “Aku tak bisa melakukan itu.” Jawabku gugup

“Kenapa?” Rio mengernyit. Aku memutar otak.

“Karena... Karena aku telah membuang semuanya. Aku tak pernah menyimpan mereka semua setelah selesai mengukirnya..” Jawabku lagi masih gugup

“Hm.. begitu.. Sayang sekali y..” tampak muka kecewa Rio, lalu dia pamit, setelah menengok jam tangannya. Aku hanya mengantar kepergiannya dengan khawatir. Takut dia tak mau lagi menyapaku, dan aku akan kehilangannya. Semoga tidak.

Siang ini aku melihat seorang wanita muda memperhatikan ayah melukis. Wajahnya berbinar, kelihatan sekali mengagumi lukisan2 ayah. Aku penasaran, tapi lalu memutuskan untuk pulang.

Dia datang lagi, tapi masih seperti kemarin. Ayah tak menghiraukannya, dan dia masih tetap mengagumi lukisan2 ayah. Wanita itu.. Nampak feminin, walau tak begitu cantik, tapi parasnya manis, dia membungkuk dengan posisi kedua tangannya menelungkup di lututnya. Aku jadi mengagumi dia, manis sekali, mungkin dia seumuranku.

“Glad, kau baik2 saja??” Parau suara ayahku beriringan dengan munculnya sosok itu ke dalam kamarku. Aku mengangguk.

“Hanya demam. Mungkin karena kehujanan kemarin malam.” Aku tak ingin buatnya khawatir.

“Akan kubuatkan bubur untukmu y..” Tutupnya, lalu ia pergi ke dapur untuk mulai memasak. Aku memandangi sosok kurus itu. Lalu muncul kejailan untuk menggodanya sedikit.

“Siapa wanita muda yang selalu mengagumi lukisan ayah, Yah..?” Tanyaku dengan menaikkan volume suara agak tinggi hingga bisa ayahku dengar.

“Siapa??” Tanyanya balik. Aku terkikik, berpikir kalau ayah mungkin malu dengan pertanyaanku.

“Yang wajahnya manis dan selalu berbinar saat melihat lukisan ayah.” Terangku sedikit.

“Hah?? Oh.. hanya anak keluarga bangsawan yang mampir sesekali..” Jawabnya singkat.

Aku gantian yang bengong. Masa’bisa tak diindahkan olehnya sedikitpun? Siapa tahu kan, dia mau memborong lukisan2 ayah. Aku menghembuskan nafas berat, dan memilih untuk tidur.

“Darimana kau dapatkan mereka?!” Aku melotot ke arah Rio saat melihat semua pahatan kayuku dipajang bersamaan dengan pameran foto Rio. Dia malah tersenyum manis. Aku tak bisa bohong kalau dia benar2 mempesona. Ah.. Jas hitam yang dia pakai untuk melapisi kaos oblong dan celana jeansnya sesuai untuk membuat penampilannya menjadi formal. Dia mengamit tanganku, sedikit menyeretku untuk berjalan ke suatu tempat, yang aku rasa aku akan terus2an khawatir berada di tempat macam ini lama2. Dan benar saja. Sampailah aku dihadapan orang2 parlente yang berjas dan bergaun plus gaya elegan. Aku menelan ludah. Masih berusaha mengontrol diriku, agar tak refleks kabur dari tempat itu.

“Gladis.. Ini Tuan Frans, sponsor tunggal acara ini. Tuan Frans, ini Gladis, wanita yang membuat semua pahatan kayu itu.” Aku gemetaran, Rio benar2 mengenalkanku kepada orang penting. Aku jadi menyeringai, bukannya tersenyum sopan dan memberi salam. Sial! Tapi diluar dugaan, Tuan Frans itu dengan hangat menyambutku, menjabat tanganku, dan bahkan memuji karyaku. Dia tak percaya dan mulai membelalakan matanya saat tahu aku tak pernah sekolah untuk keterampilan yang kumiliki itu. Tuan Frans kemudian memperkenalkanku kepada seseorang, wanita cantik dengan rambut coklat ikal sepantaranku. Aku melotot. Dia wanita yang sering kepergok olehku di tempat ayah memajang lukisan2nya. Dia tersenyum ramah, benar2 anggun, lalu Rio menjajarinya, tunangan, katanya. Aku hampir saja menjadi kaku seperti pahatan2 yang terpajang di sana. Tak melihat pada apapun, tak juga mengeluarkan suara. Yang aku tahu, aku hanya sanggup membetulkan tenggorokanku yang tercekat, dan buru2 pergi meninggalkan mereka semua.

Bodohnya aku, Ibu.. Bagaimana aku bisa berani suka kepada Rio. Jelas aku tahu dia berbeda, tapi.. tapi.. Aku mengerang2 bak anak kecil. Terus menunduk di atas pusara ibu, sampai hampir tenggelam matahari, dan aku yang masih terpukul, memutuskan untuk kembali. Dengan mata sembab.

“Maaf, Gladis.. Aku benar2 khawatir padamu..” Aku mengernyit, memalingkan muka, walau pasti Rio tahu aku habis menangis, tapi tetap saja aku tak mau mereka semua, tuan Frans dan anaknya itu jelas melihat kondisiku.

Rio putus asa membujukku untuk memberikan perhatianku sedikit saja kepadanya.

“Baiklah, mungkin aku hanya bisa berikan berita baik ini untukmu. Kalau Freya sangat suka dengan lukisan ayahmu, dan ingin beliau menjadi guru melukisnya.” Rio mengakhiri kata2nya. Melihatku sedikit terjadi perubahan, Rio kemudian berkata lagi. “Bukankah itu bagus.” Lalu memaksakan dirinya tersenyum.

Aku mengangguk, dan tak bisa kupungkiri, pasti ayah senang mendapat pekerjaan itu. Paling tidak ia tak harus duduk di pinggir jalan dan menunggu ada orang yang berminat pada lukisannya. Paling tidak, ayah bisa lebih santai bekerja dan digaji rutin. Ya.. Aku terhibur dengan berita baik ini. Paling tidak ayah bahagia.

Setelah beberapa penjelasan, Rio, Freya, dan Tuan Frans pergi. Aku terpengkur, masih tak percaya dengan semua keajaiban ini. Tapi setelah ini, aku tak bisa tetap tinggal.

“Apa2an kamu, Gladis?! Ayah tidak bisa tinggal di sana sendirian tanpamu. Kau tahu itu kan..” Ayah marah besar saat aku mengutarakan rencanaku.

“Kumohon, Ayah.. Aku tak mau ayah menderita lagi, tapi aku tak bisa tinggal di sana. Pergilah..” Setengah memaksa, aku mendorong lengan lelaki tua itu. sepersekian detik, aku merasakan pipiku panas. Sebuah tamparan melesat, lalu aku seperti mendapat tubrukan sebuah kayu gelondongan. Keras, dan kaku.

“Mereka bisa membayarku mahal dengan uang emas, tapi hartaku yang paling berharga ada di sini, dan aku tak akan mengulang hal yang sama untuk melepaskan satu yang telah hilang.”

Setitik air, hangat merembes, membasahi pundakku, lalu degub jantung yang memburu. Aku tahu ayah begitu menyayangi ibu, dan bodohnya aku ketika aku berencana meninggalkannya. Egoisnya aku, saat aku hanya memikirkan sakitnya perasaanku untuk tinggal di rumah mewah itu, dan berencana pergi agar tak jadi sakit. Aku rasakan mukaku mulai panas, lalu aku menumpahkan semuanya, termasuk rasa cemburu kepada Freya yang masih tersisa, yang telah kurencanakan untuk kubawa pergi. Tak terasa, aku telah melepaskan semua itu. Mungkin aku bisa menemani ayahku bekerja lebih mapan. Ya.. Ibu juga pasti akan menyarankanku begitu.

Keesokan harinya, seperjalananku ke tempat kerja, aku menemukan sepotong kayu, bentuknya persegi, teksturnya bagus. Aku memungutnya, memperhatikan sebentar, warnanya yang kemerahmudaan. Sama sekali tak punya pengetahuan, kayu jenis apa itu. Aku tersenyum dan menyusupkannya ke dalam tas selempangku.

“Aku dengar ayahmu dapat pekerjaan bagus, Dis..” Tiara, teman kerjaku menjajariku. Aku mengangguk dan tersenyum ke arahnya. “Apa yang kau lakukan?” Tiara mendorong tubuhnya lebih dekat ke seberang meja bar. Aku mengangkat benda itu, menunjukkannya ke Tiara agar dia bisa melihat dengan lebih leluasa. Tiara membelalakan matanya. “Manisnya..” Aku tersenyum, menunjukkan pahatan kayu berbentuk hati kepadanya. Aku mulai mengikirnya lagi agar lebih halus, dan mulai berkomunikasi lagi dengannya, mereka, kayu2 pahatan. Aku berikan mereka setengah ruhku agar hidup, dan aku mulai mengikir lagi, menikmati setiap rasa yang mungkin dirasakan juga oleh mereka.

…selesai…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar