Selasa, 21 Desember 2010

hanya kritik dan perbandingan saja (redudansi)

Senjata itu, ketika diserahkan untuk dijadikan alat terhadap sebuah tujuan yang tidak ingin dilakukan, menurutnya seperti berat gunung dipikul. Rasanya ingin dibanting saja alat itu sampai hancur hingga punya alasan untuk tak menjalankan rencana yang tujuannya tak sesuai dengan hati. Kau tahu? Seperti ingin menghilang dari hadapan petitah. Gerakan lamban itu tandanya. Artinya, tak benar-benar mau menerima titah untuk dijalankan. Ragu. Keraguan.

Dia bicara kepada anaknya tentang kitab Mahabharata. Dengan harapan, anaknya telah paham betul apa yang harus dilakukan seorang ksatria. Harus tertawa nyinyir aku untuknya kalau begitu, karena apakah seorang ksatria juga melakukan hal yang rendah dengan menyingkirkan halangan begitu saja tanpa sepadan halangan yang ia hadapi. Seorang wanita. Dan berarti, bukankah dia harus membunuh dua orang sekaligus dengan hanya membunuh satu, karena satu itu bukan terbentuk hanya olah satu yang ada, tapi dua. Aku tak mau katakan aku sedang bicara tentang apa. Aku tahu aku benci mengatakan kata itu, makanya tidak.

Seorang raja yang tak berpikiran luas kan?! Dia berkata tentang pengorbanan kepada anaknya untuk kebahagiaan rakyat, tapi berkacakah dia kalau sebenarnya dia juga telah tak mau berkorban dan hanya mempertahankan martabatnya sebagai raja. Telah egois dia dengan berpikir bahwa ucapan seorang raja tak mungkin bisa ditarik lagi, dan sangsi moral yang akan ia hadapi dan aku rasa dia telah paham itu. Dia juga mengatakan hal sama. Kalau memang ia tidak berpikir seperti itu, dia toh bisa merundingkannya lagi dengan raja Kediri. Toh mereka masih bersaudara. Apakah tak ada jalan keluar lagi selain bermusyawarah lagi untuk menghindari pertumpahan darah? Toh Raja Jenggala masih punya beberapa anak laki-laki yang bisa dinikahkan dengan Putri Kediri untuk menyatukan dua kerajaan yang dulunya satu. Kenapa harus begitu patuh pada aturan jika akhirnya mengikat dan tak bisa bergerak bebas? Kenapa tidak bisa lebih fleksibel saja untuk mencari jalan keluar yang terbaik? Salah apa keduanya jika mereka juga disatukan karena rasa? Memangnya dia bisa menggantikan rasa yang hilang. Kalau tak bisa bukankah lebih baik rubah caranya?

Akh.. Belum selesai, tapi aku selalu puas dengan jalan cerita macam ini. Yang selalu bisa buatku berkomentar tak baik untuk tokoh yang digambarkan memang semestinya melakukan hal yang ia lakukan, padahal mungkin saja menimbulkan Pro-kontra. Kritis. Manusiawi. Dan sudah lama aku ingin sekali menghujat serial TV yang berbau rohani. Oh.. Sungguh hanya satu yang ku suka, dan itu karangan Dedi Mizwar. Heuh, dia memang keren. Dia tak pernah menampilkan yang berlebihan, sederhana namun mengena. Mereka pikir semuanya harus diungkapkan dengan kata-kata? Oh.. kasihan! Padahal non-verbal lebih banyak muncul dalam komunikasi daripada verbal, tapi yang lain tetap memaksa mengeluarkan emosi lewat kata-kata, padahal mimik lebih penting menurutku. Bagaimana bisa orang simpati kepada orang yang sering mencurahkan yang ia rasa dengan kata-kata. Aku rasa itu hanya akan keluar sebagai keluhan semata atau bahkan ria. Ingin orang lain tahu kalau dia, mereka bertuhan. Maaf, aku hanya tak tahan saja, film itu menjadi banyak digemari sementara aku terganggu dengan erangan tangisan yang meminta ampunan Tuhan untuk orang yang telah mendzalimi mereka atau mengatasnamakan Tuhan untuk menyampaikan apa yang Dia suka dan tidak tanpa menyertakan juga darimana asal Tuhan suka atau tidak suka. Dan tokoh utama yang selalu terlihat sebagai pahlawan, yang tiba-tiba muncul untuk meluruskan perkara dan memberikan petuah-petuah yang baik. Hah! mana baik itu kalau tadi sore, aku yang kebetulan nonton serial TV itu karena memang selalu ditonton anak-anak kostan melihat ganjil yang ironis. Tiba-tiba sang pahlawan datang. Memberi petuah lalu pergi. Apa yang aneh? Yang aneh adalah ketika ia tak melakukan apa-apa untuk yang menjadi korban pendzaliman. Ia bahkan tak membantu membetulkan letak gerobak orang yang didzalimi tersebut yang telah tergeletak, ke posisi yang seharusnya. Hey, sekali lagi!Kalau aku jadi orang itu, aku hanya akan menganggap petuahnya sebagai omong kosong. Dia tak menerapkannya dengan perbuatan. Menyuruh untuk sabar dan anggap musibah itu sebagai cobaan lalu pergi. Hah! Sebenarnya dia peduli atau tidak? Atau hanya mau orang lain menganggap kalau dia orang suci? Cih! Maaf, tapi menurutku itu tak masuk akal sama sekali. Perbuatan harus seiring dengan kata-kata. Dan ketika kau tau yang mana yang benar tapi tak bisa berbuat itu atau belum bisa berbuat yang dibilang benar, maka simpan saja kata-katamu dan keluarkan saja untuk konsumsimu sendiri, jadi bisa menjadi sebuah sentilan, jika kau melakukan kesalahan. Tahan kata-kata sampai kau bisa mengaplikasikannya. Tulis hanya untuk pengingat. Remainder. Yah.. Dan selalu mengena kata-kata itu saat ditorehkan dengan rasa. Setidaknya aku merasa begitu, makannya seorang penulis-penulis yang keren, aku yakin punya perasaan lebih sensitif dari yang tidak menulis.

Salam ku untuk semua yg menulis. Hanya lewat Dunia tanpa suara dg barisan kata-kata :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar