Rabu, 01 Desember 2010

Dunia tanpa suara yang tak terjangkau


Hanya terdengar detik jam dan jangkrik saat itu. Ketika kau mulai membuatku merasa seperti seonggok kucing kecil liar yang dibuang. Ketika seperti aku harus merasa dikasihani dan mendapatkan kasih sayang. Aku tak perlu itu darimu. Bisa aku dapatkan bukan dari sesuatu yang akhirnya kau tau dari orang terdekatku. Aku masih bisa berjalan dan mencari keamanan, setidaknya untuk organ vitalku yang merasa terancam. Ah.. Aku sungguh berlebihan, aku tau. Tapi bukan situasi seperti ini yang aku mau. Heeh.. Dan kalu memang yang natural itu tak ada, mungkin aku memang tak bisa menerapkannya, setidaknya untuk di dunia pada umumnya manusia gunakan. Entah.. Apa itu, seperti aku masih yakin menggunakannya, memegangnya, membuatnya ada di duniaku. Mungkin hanya aku atau orang-orang tertentu yang tak normal? Abnormal? Kau tau, aku seperti ingin pergi ke dunia tanpa suara, dimana aku bisa mengacak-acak segalanya tanpa perlu takut dihujat atau dibantah. Dimana mungkin aku jadi bisa berkata-kata, lalu akan kutorehkan setiap kata itu pada dinding ruang kosong dan memenuhi setiap jengkal, jarak di dinding. Akan aku penuhi lalu pindah lagi ke tempat lain, melihat tembok-tembok milik orang lain. pindah dari satu ruang ke ruang yang lainnya, lalu akan kuperhatikan milikmu. Seperti apa sebenarnya kau. Akan aku perhatikan dengan seksama, akan hati-hati aku membacanya, dan akan aku cermati maknannya, yang mungkin hanya persepsi karena aku bahkan tak mampu berbicara dengannya. Tentu saja, kami berada di dunia tanpa suara milikku, dan tentu saja peraturannya adalah tak ada suara, hanya kata-kata. Dan aku akan bergantian melihat mimikmu, melihat gesturmu, melihat setiap petunjuk yang kau buat oleh setiap gerakan tubuh. Tengklengan kepala, tatapan, postur, dan semuannya yang kau tunjukkan untuk berkomunikasi secara non-verbal saat verbal hanya berupa kata-kata yang dirangkai di permukaan dinding. Aku benci mendengarnya. Suara detik jam dan jangkrik itu menggangguku. Bukan karena mereka tak enak didengar, lebih kepada hening yang tiba-tiba muncul bersamaan dengan dua bunyi yang jelas terdengar tersebut. Kau tau, seperti sendiri rasanya dan aku jadi tak fokus pada apa yang sedang ku baca dan mau tak mau aku jadi harus pergi menghadap keyboard dan monitor untuk segera menumpahkan semua yang kurasakan. Kau tak tau kan?! Ya tentu saja. Karena aku sedang berada di dunia tanpa suara milikku. Aku cukup toleran bukan? Aku membuat dunia tanpa suaraku sendiri, karena tahu Tuhan begitu perkasa. Dia tak membiarkan duniaNya sepi, Dia buat itu menjadi ramai dan berwarna, dengan berbagai macam suara hingga kita bisa melihat indahnya dunia. Hanya indah kah?? Kata apa lagi yang mau aku pakai untuk menggambarkanNya? Dia memang indah, walau buruk menjadi penyeimbangnya, namun buruk masuk ke dalam kategori indah saat ditujukan untukNya. Yeah.. Cukup terlihat sebagai anak yang baik kan??

Arrrgh!!! Aku ingin sekali berteriak. Kenapa mereka tidak bisa membuatku bahagia sementara kau iya?! Aku bisa saja bersenang-senang dengan mereka, tp tidak. Aku memang melakukan itu, tp, kau tau?! Tidak dengan yang sebenarnya. Aku tak bisa benar-benar tertawa, atau marah, atau sedih karena mereka. Aku tidak bisa benar-benar fokus pada mereka. Aku menjadi seperti robot yang diprogram untuk merespon tanpa rasa. Mesin. Jadi sebuah mesin, dan itu mengerikan.


Sudahlah.. Aku mengerti. Aku telah membuatmu bingung. Dunia tanpa suaraku tak terjangkau olehmu dan itu yang membuatmu bingung. Dan salahku karena aku tak mau keluar dari dunia tanpa suaraku, aku kekeuh berada di sana sampai cerita akhirku usai, mungkin tidak juga. Sampai waktu yang aku ingin tahu dengan hanya melalui dunia tanpa suaraku tiba. Dan aku juga telah membuat mereka tak mengerti pada jalan pikiranku, pada apa yang telah kurencanakan, pada apa yang akan ku bentuk. Mereka semua berpendapat lain dan menurutku itu masuk akal sekali hingga akupun sebenarnya bisa merubah permainanku, tapi entah, aku lebih memilih caraku. Walau buatku lumpuh namun aku menikmatinya, menjadi semacam kegilaan. Ah.. Gila! Aku tak mau jd orang gila. Mungkin aku perlu berdialog dengan pria itu, yang menurutnya hampir jd orang gila dia, lalu kembali ke jalan yang mungkin sudah semestinya. Bagaimana aku tau itu semestinya? Semestinya menjadi subjektif namun bisa digeneralisasi. Makin bingung toh? Tak.. Aku telah punya gambaran sendiri di benakku. Kata "otak" menjadi seperti tinggi, jadi benak saja.

Melantur.. Sudah mulailah aku melantur, dan aku belum membaca habis semua materi untuk besok. Dan ini semua gara-gara kamu kah? Yeah.. Oh.. Maaf.. Aku tak tau. Mungkin juga tak sepenuhnya. Hanya salahku yang ternyata begitu memikirkanmu. Jadi bukan salahmu, hanya aku tak punya pilihan. Aku tak bisa menyuruh hatiku untuk tak memikirkanmu atau memikirkanmu toh? Itu hadir begitu saja, dan aku takut terpuruk, semoga tidak. Kau juga harus mendoakanku. Ah.. tidaklah.. Aku, satu-satunya, yang harus bertanggung jawab atas semuanya, termasuk juga diriku sendiri. Ya kan?! Untunglah.. Suara detik jam dan jangkrik itu sudah ditimpa oleh suara-suara lainnya, aku tak sendiri lagi. Hanya tadi. Sepersekian detik ketika kau mengatakan hal yang buatku tiba-tiba harus fokus padamu lagi dan menyingkirkan materi yang akan kubaca. Sial! Bisa-bisanya buatku begitu. Siapa kau hah?? Kau bukan raja, presiden, bahkan nabi, tapi beri sedikit kuasa kepada sebagian organ vitalku. Tau dari mana sebagian. Entah. aku hanya benci kalau itu menjadi menguasai seluruhnya. Aku jadi tak punya kuasa atas diriku jadinya, makannya aku lebih suka membuatnya menjadi hanya sebagian. Yeah.. Mungkin itu lebih benar untukku.

Well done! Dunia tanpa suara berhasil menyimpan memoriku. Sebuah pensive.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar