Rabu, 20 Januari 2010

Messenger


"Nak.. Bagaimanapun ibu akan selalu sayang kamu. Ibu tidak akan pernah meninggalkan mu senakal apapun kamu, karena kamu bagian dari ibu. Darah mu mengalir darah ku, sifat mu juga ada andil ku, dan aku lah salah seorang yg harus bertanggung jawab atas mu. Mengertilah, walau kau terus menghardik ku, mencela ku, menganggap ku bodoh dan ketinggalan zaman hingga membuat ku sakit hati, aku akan tetap menjaga tutur ku agar kau selamat, agar kau tak terkena bencana, tak terkena musibah, Nak.. Jadi selalu dalam doa ku, aku ikhlas memaafkan mu. Selalu.. Dan sekarang aku melihat mu terkapar di sini. Tak bergerak walau masih bernyawa. Hati ku hancur seperti tak berhasil menyelamatkan mu. Apakah ada batin yg kelepasan. Astaghfirullah.. Ya Allah jika benar, Kau lah yg paling tahu kalau aku tidak benar-benar ingin kan nya, walau memang sedikit sakit.."
***
Selang infus itu menembus pembuluh darah. Menyalurkan cairan yang aku sendiri tak tau apa dan kepala nya terbalut perban melingkar rapih. Aku seperti tidur. Masa'?! Mungkin lebih tepat nya sekarat. Kecelakaan itu yg membuat ku berada di sini saat ini. Bodohnya, aku masih tidak mengerti kenapa aku bisa melihat diri ku sendiri. Aku bahkan sama sekali tidak berbaring. Aku malah keliaran, bingung melihat mimik muka semua orang yg setiap hari ada saja yg datang, tapi mereka sama sekali tak menyapa ku. Hah! Menyapa?! Bahkan senyum pun tidak. Sakit nya memang terasa. Kepalaku nyut-nyutan, tapi aku tak terlalu mengindahkannya. Baru tadi aku sedih luar biasa. Yah.. Saat ibu mengucapkan kata-kata itu dengan sedikit putus asa. Aku memang bukan anak baik. Hati ku juga teriris, tapi aneh. Bahkan setetes air mata tak mampu aku keluarkan. Hanya tunduk sesal yg aku ekspresikan, tapi toh ibu juga tak tau. Dengan jelas aku mendengar detik jam di ruangan ini. Begitu lamban. Tik..Tik..Tik.. Dan aku hanya diam. Lalu satu waktu itu aku memandang ibu. Beliau tertidur di samping ku. Mungkin lelah. Dan ah.. Rasa nya ingin memeluk nya. Aku mendekat. Berusaha meraih, menyentuh tangan nya yang hangat. Dan beliau terkesiap. Ramai. Semua orang datang. Dan aku hanya mendengarkan tartil doa yg mendayu. Pesan terakhir mungkin saat itu. Entah beliau dengar atau tidak. Rasanya aku mengatakan sesuatu yang sukses membuat beliau berlinang air mata. Itu yg ku lihat.

***

"Subhanallah.." Pekik ku. Anak ku menyentuh tangan ku. Nyata. Ya Tuhan.. Terimakasih banyak. Namun tak lama. Aku bahkan tak menyadari kalau itu kata terakhirnya. Aku bisa merasakan kekhawatirannya. Sungguh tak bisa aku membendung tangis saat itu dan ku peluk anak pertama ku. Dia.. Dia juga mendengarnya. Memang samar namun jelas dan tanpa membuka mata. Hanya "maaf" dan "terimakasih" dari nya.
***
Dan di tanah merah ini aku merasakan adik kecil ku tidur. Dengan tenang karena sudah habis perannya di dunia. Merasakan manis-pahit kehidupan nya. Setidaknya dia telah merasakan. Kau telah menjadi manusia pilihan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar