Hubungan jarak jauh? Oh, nampak familiar dengan istilah itu. Setidaknya itu pendekatan kami. Ya, aku dan dia yang ternyata (mungkin) lebih baik dimataNya. Penggambarannya kepadaku sih membuatku menyimpulkan jadi begitu.
Aku dan dia. Latar belakang kami berbeda. Aku sempat merasakan bangku kuliah, sedangkan dia tidak. Dulu, aku memang jadi berpikir ulang untuk jadi wanitanya. Habis dia tak sekeren teman-teman kuliahku.
Aku dan dia. Kami bertemu di tempat yang tak terduga. Danau Situ Lembang. Kalau tersebut kata itu, mungkin akan terasa sinetron sekali ya. Iya, aku juga jadi geli. Tuhan memang punya cara aneh. Mungkin persepsiku yang anggap begitu. Sudahlah, kami memang bukan pasangan yang keren. Tak seperti yang pernah aku bayangkan. Biasa saja. Tak ada heroik.
Dari dulu sampai sekarang. Kami tak pernah dekat. Dia tinggal dan bekerja di kota lain. Dulu, bisa dibilang jarang rindu, karena banyak teman-teman. Hm, teman memang segalanya setelah keluarga, baru pacar. Kalau buatku ya. Mungkin sudah biasa, jadi biasa juga sekarang. Saat dia harus pergi ke Sudan. Rindu? Sesekali, tapi masih bisa jalani hidup. Kami memang telah sepakat untuk mengejar cita-cita masing-masing dulu. Bisa dibilang: "Dia belum jadi milikku, dan Aku belum jadi miliknya". Kami masih bebas. Jadi kalau suatu hari nanti kami bersatu, maka kami akan mengorbankan satu. KEBEBASAN. Entahlah, kadang seram membayangkannya, tapi mana aku tahu yang terbaik.
Aku sedang tik kata-kata, tapi belum cukup banyak. Aku suka menulis, tapi sepertinya mesti banyak baca, agar berisi.
Dia sedang main di sana. Main di lahan bertempurnya. Aku yakin dia sedang menikmati sekali. Hm, dia memang teratur dan bisa sabar. Aku lebih grasa-grusu.
Apakah dia potongan puzzle yang pas?
Scratch_Pen
Apapun di sini.. Sesuatu yg akan menghiasi lembaran sketsa hidup yg blur ..
Minggu, 08 Desember 2013
Sabtu, 07 Desember 2013
Trip to Semeru
Tgl. 18 Agustus 2013. Saya dan salah seorang sodara saya telah merencanakan untuk melakukan perjalanan ke Semeru. Rencana ini bukan dadakan. Sebelumnya kami memang telah merencanakan untuk melakukan perjalanan ke Puncak para Dewa ini sebulan sebelumnya. Sayapun tak latah mendaki semata karena salah satu film yang menyeritakan tentang pendakian ke Semeru, melainkan memang sudah dari kuliah. Semacam target yang harus saya lakukan sebelum saya meninggal. Jadi perjalanan ke Semeru ini merupakan perjalanan penting dalam hidup saya. Sebuah perjalanan yang bisa dibilang: "Apapun akan saya lakukan untuk melakukan perjalanan". Dan nampaknya Allah menghendaki. Bermula dari obrolan dengan saudara saya yang juga suka mendaki gunung. Dan ceritanya mengenai rencana pencapaian mendaki Semeru. Wah! Sama. Pikir saya. Sayapun dengan semangat mengajukan diri untuk ikut. Dan Yak! Tanggal 18 Agustus itupun perjalanan kami dimulai.
Mengorek tabungan sebagai bekal membeli peralatan yang cukup untuk prosedur keamanan pendakian. Mengingat pendaki amatir dan baru awal, saya tak mau ambil risiko dengan sepatu yang akan menyusahkan perjalanan. Ditambah pengalaman yang tidak mengenakan, yang terjadi pada kaki saya saat diklat. (Hehe, ini sih karena tak disiplin lepas sepatu). Beli lah saya sepatu "ber-kembang" di alasnya, karena, Yak! Semeru gitu lowch. Katanya sih puncak tertinggi di Pulau Jawa. Ditambah belum tau medannya, jadi: "Sepatu "ber-kembang".. Come to Mama..".
Tanggal 18 Agustus 2013, Saya sengaja memerpanjang cuti lebaran saya. (di)Tinggallah saya di Solo, tempat Bulik. Jadi biar ketemuannya di Solo saja. Tiket Kereta lumayan mahal saat itu. Mungkin karena berbarengan dengan arus balik lebaran. (Maaf, Teman-teman). Setelah menginfokan harga tiket yang diluar dugaan, sayapun memesan tiket ke Malang. Kira-kira pukul 23.00, saudara saya dan teman-temannya, tiba di Balapan. Mereka makan dulu, dan siap-siap menyambut kereta menuju Malang.
Di dalam kereta, kami mengatur tempat duduk. Karena ada dua orang yang tempat duduknya terpisah. O, ya. Kami bersembilan. Empat perempuan dan lima laki-laki, jadi saya pikir cukup aman lah, karena banyakan cowoknya. :p Saya baru saja bilang " Mana ini?! Katanya berAC, tapi gerah"; Beberapa menit setelah kereta berjalan, barulah berasa dinginnya. Sial! Saya jadi harus geret-geret jaket yang saya simpan di carrier. Sombong karena ngerasa belum butuh dipakek. Dan segera setelah itu, kami mulai sibuk dengan pikiran masing-masing. Sebenernya nggak bisa tidur karena dingin. Hehehe.
19 Agustus 2013. Pukul 05.00, kami tiba di stasiun Malang. Shalat subuh, pesen minuman anget dulu. Lalu cari sarapan dekat stasiun. Kami menjumpai banyak pendaki gunung. Wajar, karena berdekatan dengan tanggal 17 Agustus. Berdasarkan informasi yang saya dapat, biasanya pendaki-pendaki merayakan 17an di Ranu Kumbolo atau bahkan di Mahameru, jadi ya bisa dipastikan, mereka adalah rombongan yang sudah turun. Kami senyum-senyum melihat fenomena itu. Buanyak banget pendaki. Semeru bukan lagi tempat eksklusif bagi pendaki. Udah kayak mallnya pendaki. Karena bergengsi jg kali ya. Sayapun merasakan hal sama, tapi jadi ngerasa nggak keren lagi setelah banyak yang bisa daki.
Dengan Jeep yang sudah dipesan saudara saya, kami dibawa sampai Ranu Pane. Pikir ini danau seindah dicerita. Ternyata biasa saja. Di Ranu Pane, kami mendaftarkan diri dulu. Setelah itu, kami istirahat sampai jam 2. Menunggu matahari agar tak terik-terik sekali. di Ranu Pane, kami habiskan waktu untuk packing kembali barang-barang bawaan. Yang cewek-cewek bawa yang ringan tentu saja. Hehehe.. Pukul 2, kami mulai jalan menuju Ranu Kumbolo. Berdoa dulu bareng-bareng biar selamat. Kami sih fun hiking, jadi habis tanjakan kalau capek, ya berhenti. Ngurangin logistik dulu. Biar nggak berat. :p Menurut informasi, dari Ranu Pane ke Ranu Kumbolo menghabiskan waktu 5 jam, tapi... karena fun hiking, jadi sampek Ranu Kumbolo sekitar jam 9. No problemo. Kami langsung mendirikan tenda. Yang perempuan nyiapin makanan dan minuman. Woow.. Ranu Kumbolo membuat kami bergemeletuk, tapi Subhanallah indah. Bintangnya banyak, tapi setelah makan dan minum anget, kami, para wanita memilih untuk nenda. Menghangatkan diri. Hahaha.. Nggak romantis amat.
Ranu Kumbolo, 05.00 pagi. Sodaraku dan temannya udah berSubhanallah di luar. Nyuruh bangun untuk liat sunrise. Setengah hati aku keluar. Antara nggak mau ketinggalan momen sama masih pengen tidur. Sugooooi itu bintang apa permata??!! Beuh.. Dingin amat sih.. Dalam keadaan masih nganga, saudara saya menunjukkan mie dan sandal gunung yang udah beku ada esnya. Beuh.. Berasa di luar negeri. Jepret sana, jepret sini. Danau pun mengeluarkan asap putih mistis. Kereeeen...
Pukul 08.30, kami packing lagi. Biar nggak kesiangan. Beberapa barang, kami tinggal di Ranu Kumbolo. Kami siap menuju Kali Mati. Sempet galau, mau ngecamp di Kali Mati atau Arco Podo, tapi setelah ketemu pendaki lain dan minta informasi, kami memutuskan untuk ngecamp di Kali Mati sebelum muncak malamnya. Alasannya karena di Kali Mati ada sumber air, namanya Sumber Mani. Kira-kira 30 menit jalan dari Kali Mati, tapi mesti tau kalau nggak mudah menjangkau Sumber Mani. Medannya lumayan kalau mau ambil air yang banyak sekalian. Mesti ada beberapa orang dengan bawa botol air mineral besar. Dan jangan bayangin sungai mengalir. Hehe, cuma dua gerojokan sedang, yang dibuat untuk ngalirin air yang jatuh dari atas. Saya dan teman-teman perempuan yang girang, rebutan mau ikut ke Sumber Mani, nggak mau ikut lagi setelah turun dari puncak. Capek. Hehehe..
Pukul 23.00, Kami siap-siap ke Puncak. Saudara saya mengingatkan untuk pakai jas hujan sekalian untuk antisipasi kalau tiba-tiba hujan, dan untuk memakai pakaian berlapis; Bawa masker dan senter. Karena belum tau jalan, kami memustuskan untuk ikut dengan rombongan lain yang akan muncak. Untunglah malam, jadi medan yang mulai menanjak, tak menjatuhkan mental kami. Setelah kagum melewati Arco Podo, dan sibuk cari monumennya Gie, dan nggak ketemu (iyalah orang di Puncak), kami melanjutkan perjalanan. Haaah.. Sebenarnya target dapet sunrise di atas, tapi nggak keburu. Ditengah jalan liat sunrisenya aja udah terkagum-kagum.
Baru jam 7, saya sampai di Puncak. Hiks! Sedih. Gembira. Sebuah pencapaian setidaknya untuk diri sendiri udah bisa sampek puncak. Padahal tadinya udah mau berhenti sampek Ranu Kumbolo. Tapi begitu inget tujuan awal ke Semeru mau ngapain, akhirnya ditekatin juga untuk HARUS sampek puncak.
Subhanallah.. Bukan cuma dapet indahnya, tapi untunglah dapet pelajaran baru dari teman-teman baru. Masih harus berjuang sampek puncak yang abadi, Teman-teman..
Masih berdiri kokoh Mahameru memandang kami. Dadah, Semeru.. :)
Rabu, 25 September 2013
Pertanda
Dia.. Sebuah kesalahan
Dia.. Bencana
Dia.. Bukan yang terbaik di jagat ini
Dia.. Hanya seorang pemuda baik hati
Dia dan .. Aku?
Jagat raya bisa mendengar deru tawaku yang congkak saat aku melihatnya rendah.
Jagat raya lalu membuatnya ada didepan jangkauan optikku, hingga tak sanggup mengelak untuk tak berusaha mengusirnya dari sana. Ya.. aku usir dia. Dengan menggosok mataku berkali-kali.. Sesekali. Aku bohong. Aku simpan dia. Entah dimana..
Sampai ranting pohon itu gundul dan jadi sepi, hingga muncul dingin dan gemeletuk gigi.
Itu memang hawa dingin yang kurasakan, sampai harus kurapatkan mantelku.
Aku mendongak lagi, menatap ranting kosong.
Hanya sapuan angin musim dingin melewati tubuhku.
Tak juga, otakku berusaha menghibur dengan menghadirkan secangkir coklat hangat. Coklat hangat. Bukan lagi vanilla latte. Oh, aku masih suka vanilla latte, masih sering juga kuseduh minuman itu. Tetap jadi favorit. kau tak bisa menyingkirkan favoritmu toh..
Ah, harus cepat-cepat pulang dan membuat coklat hangat itu muncul nyata kalau tak mau aku jadi patung yang tiba-tiba menjadi penghias taman ini.
Aku merapatkan mantelku, jaket lebih tepatnya. Ah.. Hembusan udara dingin itu nyata keluar dari mulutku yang terengah.
"Kenapa malam sekali?"
Aku tersenyum. Bisa kurasakan pipiku bersemu kemerahan, karena sedikit darah yang mengalir karena emosi sesaat itu.
"Iya, aku memutuskan untuk jalan kaki tadi." Jawabku ramah. Serta merta tangannya yang kokoh meraih pundakku. Merasakan juga bekas udara dingin di luar. Lalu dia mengerang. Mungkin merasakan dingin yang tak nyaman juga yang dia rasa. Lalu membantuku menggantungkan jaket lusuhku.
Secangkir teh hangat ternyata. Tak ada coklat. Hanya teh manis hangat. Aku tersenyum. Menghirup dalam aroma melati dari uap teh yang baru diseduh. Menyeruput sedikit dulu, dan entah kenapa dadaku jadi lapang. Aku bisa melihat bayangan yang direfleksikan perapian untuk sosoknya di dinding rumah mungil ini. Aku melihat ia tersenyum ringan sambil menatapku dalam. Aku benci perasaan ini. Dia bukan laki-laki hebat sejagat. Dia bukan laki-laki yang terbaik.
Aku meniup asap yang mengepul dari atas cangkir teh hangatku. Hanya iseng.
"Apakah itu cukup?"
Sedikit terkejut dengan pertanyaannya yang memecah kebisuanku. Dia hanya memastikan kalau aku menikmati teh manis hangat buatannya, dan cukup membuatku nyaman, hingga tidak kedinginan lagi. Aku menanggapinya dengan senyum. Aku tulus, sungguh..
"Syukurlah.." Dia menyenderkan punggungnya ke sofa panjang di perapian tempat kami duduk.
Jagat raya kini congkak memegang kepalaku untuk menunjukkan kepadaku bahwa dia ada.
Aku tahu kalau Tuhan akan bicara dengan apa saja. Cukup lebih cermat saja perhatikan pertanda dan jangan sangkal.
"Ini lebih dari cukup." Akhirnya semua inderaku berbicara. Mata, telinga, lidah, hidung, kulit.. "Kau lebih dari cukup.." Jagat raya bersorak. Dia menang. Ini akhir kah? Tuhan bicara dengan berbagai macam cara. Cukup lebih peka melihat pertanda.
Dia.. Bencana
Dia.. Bukan yang terbaik di jagat ini
Dia.. Hanya seorang pemuda baik hati
Dia dan .. Aku?
Jagat raya bisa mendengar deru tawaku yang congkak saat aku melihatnya rendah.
Jagat raya lalu membuatnya ada didepan jangkauan optikku, hingga tak sanggup mengelak untuk tak berusaha mengusirnya dari sana. Ya.. aku usir dia. Dengan menggosok mataku berkali-kali.. Sesekali. Aku bohong. Aku simpan dia. Entah dimana..
Sampai ranting pohon itu gundul dan jadi sepi, hingga muncul dingin dan gemeletuk gigi.
Itu memang hawa dingin yang kurasakan, sampai harus kurapatkan mantelku.
Aku mendongak lagi, menatap ranting kosong.
Hanya sapuan angin musim dingin melewati tubuhku.
Tak juga, otakku berusaha menghibur dengan menghadirkan secangkir coklat hangat. Coklat hangat. Bukan lagi vanilla latte. Oh, aku masih suka vanilla latte, masih sering juga kuseduh minuman itu. Tetap jadi favorit. kau tak bisa menyingkirkan favoritmu toh..
Ah, harus cepat-cepat pulang dan membuat coklat hangat itu muncul nyata kalau tak mau aku jadi patung yang tiba-tiba menjadi penghias taman ini.
Aku merapatkan mantelku, jaket lebih tepatnya. Ah.. Hembusan udara dingin itu nyata keluar dari mulutku yang terengah.
"Kenapa malam sekali?"
Aku tersenyum. Bisa kurasakan pipiku bersemu kemerahan, karena sedikit darah yang mengalir karena emosi sesaat itu.
"Iya, aku memutuskan untuk jalan kaki tadi." Jawabku ramah. Serta merta tangannya yang kokoh meraih pundakku. Merasakan juga bekas udara dingin di luar. Lalu dia mengerang. Mungkin merasakan dingin yang tak nyaman juga yang dia rasa. Lalu membantuku menggantungkan jaket lusuhku.
Secangkir teh hangat ternyata. Tak ada coklat. Hanya teh manis hangat. Aku tersenyum. Menghirup dalam aroma melati dari uap teh yang baru diseduh. Menyeruput sedikit dulu, dan entah kenapa dadaku jadi lapang. Aku bisa melihat bayangan yang direfleksikan perapian untuk sosoknya di dinding rumah mungil ini. Aku melihat ia tersenyum ringan sambil menatapku dalam. Aku benci perasaan ini. Dia bukan laki-laki hebat sejagat. Dia bukan laki-laki yang terbaik.
Aku meniup asap yang mengepul dari atas cangkir teh hangatku. Hanya iseng.
"Apakah itu cukup?"
Sedikit terkejut dengan pertanyaannya yang memecah kebisuanku. Dia hanya memastikan kalau aku menikmati teh manis hangat buatannya, dan cukup membuatku nyaman, hingga tidak kedinginan lagi. Aku menanggapinya dengan senyum. Aku tulus, sungguh..
"Syukurlah.." Dia menyenderkan punggungnya ke sofa panjang di perapian tempat kami duduk.
Jagat raya kini congkak memegang kepalaku untuk menunjukkan kepadaku bahwa dia ada.
Aku tahu kalau Tuhan akan bicara dengan apa saja. Cukup lebih cermat saja perhatikan pertanda dan jangan sangkal.
"Ini lebih dari cukup." Akhirnya semua inderaku berbicara. Mata, telinga, lidah, hidung, kulit.. "Kau lebih dari cukup.." Jagat raya bersorak. Dia menang. Ini akhir kah? Tuhan bicara dengan berbagai macam cara. Cukup lebih peka melihat pertanda.
Marahan Sama Temen Itu Nggak Enak
Pernah nggak elo marahan sama temen?
Enak nggak?
Gw baru lagi ngerasain perasaan nggak enak soalnya. Rasanya gimana gitu mau komunikasi sama dia.
Perasaan antara gengsi karena gw ngerasa enggak salah, dan belum saatnya nyapa dia lagi, sama pengen banget nyapa dia walo cuma nanya kabar.
Aaaah.. Kata siapa hubungan pacaran aja yang bisa rumit?! Pertemanan juga. Iya, semua juga akan rumit kalo dibikin rumit.
Tapi emang hidup tuh musti sabar ya.. karena seperti yang udah gw bilang ke dia dan gw terapin ke diri gw sendiri kalo semua ada waktunya. Jadi gw harus sabar juga untuk waktu yang gw rasa pas ngabarin dia sesuatu lagi. Ya.. Gw yakin itu waktu yang pas, dan gw harap dia nggak menolak atau menanggapi dengan dingin saat waktu yang gw anggap pas itu tiba dan gw beneran beraksi, karena.. Gw bisa pastiin kalo dia bener-bener kejam, dan akan buat gw kecewa banget. Meski gw rasa, gw nggak akan bisa nggak anggep dia salah satu temen deket lagi setelah (kalo) dia buat begitu. Gw akan terus anggep dia sebagai temen gw, tapi.. Gw rasa gw akan cari waktu yang tepat lagi untuk hubungi dia. Nggak akan seenaknya, sewaktu-waktu hubungi dia, karena gw yang mungkin akan nggak siap dengan respon dia. Harapan gw direspon baik olehnya besar soalnya, jadi begitu dapet respon yang nggak sesuai ya.. Gw akan sangat kecewa. Sangat. Begitulah gw. Oh, mungkin juga orang lain. Harapan yang besar harus diiringi dengan mental yang kuat.
Satu hal sih yang buat gw selalu anggap dia salah satu temen deket gw. Adalah karena beberapa perkataannya gw suka cerna kembali, dan bahkan akhirnya gw jadikan pengingat. Bencana kan.. Padahal itu orang brengsek. Sial!!
Enak nggak?
Gw baru lagi ngerasain perasaan nggak enak soalnya. Rasanya gimana gitu mau komunikasi sama dia.
Perasaan antara gengsi karena gw ngerasa enggak salah, dan belum saatnya nyapa dia lagi, sama pengen banget nyapa dia walo cuma nanya kabar.
Aaaah.. Kata siapa hubungan pacaran aja yang bisa rumit?! Pertemanan juga. Iya, semua juga akan rumit kalo dibikin rumit.
Tapi emang hidup tuh musti sabar ya.. karena seperti yang udah gw bilang ke dia dan gw terapin ke diri gw sendiri kalo semua ada waktunya. Jadi gw harus sabar juga untuk waktu yang gw rasa pas ngabarin dia sesuatu lagi. Ya.. Gw yakin itu waktu yang pas, dan gw harap dia nggak menolak atau menanggapi dengan dingin saat waktu yang gw anggap pas itu tiba dan gw beneran beraksi, karena.. Gw bisa pastiin kalo dia bener-bener kejam, dan akan buat gw kecewa banget. Meski gw rasa, gw nggak akan bisa nggak anggep dia salah satu temen deket lagi setelah (kalo) dia buat begitu. Gw akan terus anggep dia sebagai temen gw, tapi.. Gw rasa gw akan cari waktu yang tepat lagi untuk hubungi dia. Nggak akan seenaknya, sewaktu-waktu hubungi dia, karena gw yang mungkin akan nggak siap dengan respon dia. Harapan gw direspon baik olehnya besar soalnya, jadi begitu dapet respon yang nggak sesuai ya.. Gw akan sangat kecewa. Sangat. Begitulah gw. Oh, mungkin juga orang lain. Harapan yang besar harus diiringi dengan mental yang kuat.
Satu hal sih yang buat gw selalu anggap dia salah satu temen deket gw. Adalah karena beberapa perkataannya gw suka cerna kembali, dan bahkan akhirnya gw jadikan pengingat. Bencana kan.. Padahal itu orang brengsek. Sial!!
Rabu, 28 Agustus 2013
Pesan Romantisme Jalan Setapak
Darah itu berdesir.. Kuat, namun tenang. Bagaimana bisa aku katakan kalau aku mirip ibu, kalau ternyata ketertarikan kami sama.
Aku mirip ibu, kataku. Itu benar. Kami punya beberapa sifat yang sama, yang aku bisa mafhum kalau itu kadang buat aneh.
tapi waktu itu tiba, saat kami berdialog, aku menggebu menceriterakan semua pengalaman yang aku anggap keren itu kepadanya. Dia pendengar yang baik. Kadang aku bisa memahami bagaimana jika diposisinya, tapi itu buatku kemudian tak jadi memihak kepada siapapun, karena tak ada yang salah.
Dia tersenyum. Aku merasa seperti membawanya kembali ke masa lalu saat semua itu mengalir dari mulutku. Pengalamanku. karena kami merasakan hal sama. Paling tidak, tak jauh beda. Aku gembira saat waktu itu aku merasa sedang jalan-jalan bersamanya ke tempat yang mungkin juga ia rindukan. Tempat kabur yang mungkin sering kami rindukan, dan tak akan kami lupakan seumur hidup kami. Dia.. Sering makanya aku bilang kalau dia guruku, inspirasiku juga. Dia ajarkan untuk memberikan sesuatu yang bermanfaat, jangan sekedar nikmati indahnya. Aku tahu. Alam memang sedang membutuhkan penyelamat. Dan pendaki mungkin harus juga berikan sesuatu yang bermanfaat, agar tak hanya perjalanan kosong berbekas kenang-kenangan gambar dan ingatan.
Waktu bergerak lagi. Saat kami memang harus meninggalkan sejenak memori kami. Aku ceriterakan kepadanya angan-angan kami, aku dan saudara laki-lakiku yang mengalir kepada kami hasrat yang sama. Aku ceriterakan kepadanya kalau kami akan kemping bareng, meski kelak kami telah berkeluarga dan punya anak. Aku ceriterakan kepadanya kalau meski aku tak akan sekuat dia yang laki-laki, hingga bisa menggendong anaknya dipunggung sambil naik gunung, aku akan ajak dan tularkan anak-anakku dengan cerita dan pengalaman. Biar mereka rasakan juga dinginnya hawa di sana, tempat, yang baik kau, aku, dan keponakan laki-lakimu selalu rindukan.
itu hanya sebagian mimpi kami, Pak.. Semoga Tuhan meridhoi untuk kami bisa bersentuhan lagi dengan tempat yang kita selalu rindukan.
Aku berpikir, mungkin aku bukan yang terhebat dari mereka, tp aku bersyukur menjadi yang memiliki kesempatan untuk merasakan dan memiliki hasrat yang sama untuk bersinggungan dengan yang kau dulu juga pernah nikmati.
Aku pengagummu untuk hal-hal macam ini, apalagi ternyata kaupun ikut organisasi yang sama seperti dia yang kuidolakan. Kau adik tingkatnya. Kau juga kenal dia yang sepotong kisahnya pernah kubaca di sebuah buku autobiografi. Semoga, aku tak kehilangan romantismenya. Semoga Tuhan meridhoi romantisme yang kusuka.
Kami adalah kami dengan jalan setapak-setapak untuk kemudian mencapai tujuan kami. Semoga.. Semoga Tuhan pun meridhoimu, Pak.. Doakan kami, doaku untukmu selalu..
untuk sepotong kisah masa mudamu:
Selasa, 23 Juli 2013
1, 2, 3 Siap!!
1, 2, 3, siap!!
Hehe.. Itulah yang biasa aku lakukan saat salah atau gugup. Mungkin juga karena malu dan sadar diperhatikan orang lain. Padahal mah belum tentu juga orang yang ada di sekitarku itu perhatikanku. *nyengir.
Kebiasaanku kalau melakukan sesuatu itu diinget lagi untuk mengingat yang mana yang baik dan buruk, yang sudah ku lakukan. Dan yak! Kalau banyak yang buruk, tak jarang aku mengumpat sendiri atau istighfar, sekedar menenangkan diri. Dan membuat perasaan jadi sedikit lebih baik. Paling tidak tersalurkan. :p
Ya, dan laiknya kebiasaanku merefleksi diri itu, jadi beberapa kali mendapatkan gambaran diri. Termasuk kebiasaanku saat akan melakukan sesuatu. Ng.. Lebih tepatnya saat memimpin sesuatu, khususnya saat memberi instruksi kepada anak-anak. "1, 2, 3.."- mulai sama-sama melakukan hal yang harus dilakukanku dan teman-teman mainku (bc: anak-anak usia 3 tahun ). Dan suatu hari aku seperti difokuskan akan kebiasaanku menghitung sampai tiga itu sebagai kerikuhan. Ya.. "1, 2, 3" mungkin jadi semacam ruang untukku mempersiapkan diri setelah melakukan kesalahan atau gugup saat akan melakukan sesuatu.
Aku tak aneh. Hanya harus tahu bagaimana memperbaiki cela. Belajar, belajar, Wit.. Bismillah. Inshallah.. Kalo kata Dori "Keep Swimming", kataku "Keep Learning". Sama makna. :)
Fight o!!!
Hehe.. Itulah yang biasa aku lakukan saat salah atau gugup. Mungkin juga karena malu dan sadar diperhatikan orang lain. Padahal mah belum tentu juga orang yang ada di sekitarku itu perhatikanku. *nyengir.
Kebiasaanku kalau melakukan sesuatu itu diinget lagi untuk mengingat yang mana yang baik dan buruk, yang sudah ku lakukan. Dan yak! Kalau banyak yang buruk, tak jarang aku mengumpat sendiri atau istighfar, sekedar menenangkan diri. Dan membuat perasaan jadi sedikit lebih baik. Paling tidak tersalurkan. :p
Ya, dan laiknya kebiasaanku merefleksi diri itu, jadi beberapa kali mendapatkan gambaran diri. Termasuk kebiasaanku saat akan melakukan sesuatu. Ng.. Lebih tepatnya saat memimpin sesuatu, khususnya saat memberi instruksi kepada anak-anak. "1, 2, 3.."- mulai sama-sama melakukan hal yang harus dilakukanku dan teman-teman mainku (bc: anak-anak usia 3 tahun ). Dan suatu hari aku seperti difokuskan akan kebiasaanku menghitung sampai tiga itu sebagai kerikuhan. Ya.. "1, 2, 3" mungkin jadi semacam ruang untukku mempersiapkan diri setelah melakukan kesalahan atau gugup saat akan melakukan sesuatu.
Aku tak aneh. Hanya harus tahu bagaimana memperbaiki cela. Belajar, belajar, Wit.. Bismillah. Inshallah.. Kalo kata Dori "Keep Swimming", kataku "Keep Learning". Sama makna. :)
Fight o!!!
Minggu, 21 Juli 2013
Diriku (masih) cs Penghargaan yang Diharapkan
Refleksi lagi.
Diukur dari apakah seseorang menghargai yang lain?
Lagi, aku belum bisa untuk tidak menjadi manusia. Aku belum bisa untuk menjadi resi versiku. Aku belum bisa tak merasa ingin dihargai. Aku beberapa waktu yang lalu menuntut untuk dihargai sama, seperti harga yang ku tampilkan kepada orang yang beberapa waktu lalu kuhadapi.
Kecewa? Hm.. Tak sukanya aku ketika rasa itu muncul. Lalu aku mulai, mati-matian kembali kepada diriku. Dimana yang salah? Pernahkah aku melakukan hal yang sama? Ternyata begitu rasanya? Hei, pernahkah aku juga begitu kepada orang lain? Adakah? Aku berusaha untuk mencari. Kemudian aku berusaha untuk menyambung-nyambungkan nilai yang umumnya muncul dalam hidup bermasyarakat. Aku tadi menginginkan harga yang aku harapkan terhadap orang yang kuhadapi tersebut untuk ditujukan juga kepadaku. Ya, itu.. Nilai yang umumnya ada di masyarakat dan harapan akan penghargaan diri. Lalu aku mulai melihat diriku, kubandingkan dengan orang yang kuhadapi. Aku mulai melihat profesiku. Hm.. Itu menurutku menjadi salah satu hal yang kuat yang menjadi dasar tidak terpenuhinya harapanku akan penghargaan diri yang ditujukan kepadaku. Mungkin profesi itu tak bergengsi dan dianggap mudah, juga tak membutuhkan tingkat pendidikan yang tinggi untuk mendapatkannya. Mungkin. Ya, beberapa menit, beberapa waktu yang lalu aku mencari yang salah dariku, tapi kemudian aku memilih untuk memperbaiki kualitas diri yang memang belum terpenuhi. Kualitas yang masih belum mampu membuatku nyaman, dan percaya diri untuk sementara ini. Banyak hal yang aku anggap keren yang belum bisa aku kuasai, meski hal-hal yang belum terwujud itu seharusnya jadi salah satu alasanku untuk hidup.
Kebahagiaan adalah jika kau butuh sesuatu maka terpenuhi. Sederhana? Iya... [menghembuskan nafas panjang] Aku akan mulai argumenku ini lagi dengan "tapi". Iya.. Kebahagiaan memang sederhana, tapi... Aku belum bahagia.. Maksudku, aku sudah bersyukur atas hidupku. Malah bisa dibilang mungkin kurang menuntut dan memberikan toleransi yang agak besar, tapi aku belum bahagia karena beberapa hal yang menurutku keren belum dapat kucapai. Mungkin seharusnya aku bersyukur memiliki itu, karena aku jadi tahu apa yang sebenarnya kuinginkan. Ya.. Sekarang memang sedang berusaha untuk mengarahkan hidupku ke arah yang aku ingin wujudkan. Dan... Hei, Mungkin keinginanku untuk mendapatkan penghargaan sesuai dengan harapan tidak akan lagi berlaku. Begitu? Kita lihat, apakah aku bisa menghilangkan itu hingga tak jadi manusia? Hingga jadi resi. (resi juga manusia!!) Ng.. Maksudku resi versiku. Ya.. Aku tau itu tak mungkin, karena Tuhan mungkin memang memberikan sifat-sifat itu kepada manusia. Tapi aku harus!! Agar tak haus hormat dan penghargaan. Maksudku.. Apa yang dianggap baik lebih penting dari sekedar nilai. Ya.. Itu.. Susah banget sih jabarinnya. - -"
Dan, Hey.. Aku ingat, mungkin aku pernah melakukan hal yang sama kepada orang lain, dan aku menyesal untuk bersikap yang sama. Mungkin, aku akan memperbaikinya. Untuk berusaha membuat orang lain mendapatkan penghargaan yang mereka harap dapatkan. :)
Tuhan selalu tahu bagaimana mengajar hambaNya.
Diukur dari apakah seseorang menghargai yang lain?
Lagi, aku belum bisa untuk tidak menjadi manusia. Aku belum bisa untuk menjadi resi versiku. Aku belum bisa tak merasa ingin dihargai. Aku beberapa waktu yang lalu menuntut untuk dihargai sama, seperti harga yang ku tampilkan kepada orang yang beberapa waktu lalu kuhadapi.
Kecewa? Hm.. Tak sukanya aku ketika rasa itu muncul. Lalu aku mulai, mati-matian kembali kepada diriku. Dimana yang salah? Pernahkah aku melakukan hal yang sama? Ternyata begitu rasanya? Hei, pernahkah aku juga begitu kepada orang lain? Adakah? Aku berusaha untuk mencari. Kemudian aku berusaha untuk menyambung-nyambungkan nilai yang umumnya muncul dalam hidup bermasyarakat. Aku tadi menginginkan harga yang aku harapkan terhadap orang yang kuhadapi tersebut untuk ditujukan juga kepadaku. Ya, itu.. Nilai yang umumnya ada di masyarakat dan harapan akan penghargaan diri. Lalu aku mulai melihat diriku, kubandingkan dengan orang yang kuhadapi. Aku mulai melihat profesiku. Hm.. Itu menurutku menjadi salah satu hal yang kuat yang menjadi dasar tidak terpenuhinya harapanku akan penghargaan diri yang ditujukan kepadaku. Mungkin profesi itu tak bergengsi dan dianggap mudah, juga tak membutuhkan tingkat pendidikan yang tinggi untuk mendapatkannya. Mungkin. Ya, beberapa menit, beberapa waktu yang lalu aku mencari yang salah dariku, tapi kemudian aku memilih untuk memperbaiki kualitas diri yang memang belum terpenuhi. Kualitas yang masih belum mampu membuatku nyaman, dan percaya diri untuk sementara ini. Banyak hal yang aku anggap keren yang belum bisa aku kuasai, meski hal-hal yang belum terwujud itu seharusnya jadi salah satu alasanku untuk hidup.
Kebahagiaan adalah jika kau butuh sesuatu maka terpenuhi. Sederhana? Iya... [menghembuskan nafas panjang] Aku akan mulai argumenku ini lagi dengan "tapi". Iya.. Kebahagiaan memang sederhana, tapi... Aku belum bahagia.. Maksudku, aku sudah bersyukur atas hidupku. Malah bisa dibilang mungkin kurang menuntut dan memberikan toleransi yang agak besar, tapi aku belum bahagia karena beberapa hal yang menurutku keren belum dapat kucapai. Mungkin seharusnya aku bersyukur memiliki itu, karena aku jadi tahu apa yang sebenarnya kuinginkan. Ya.. Sekarang memang sedang berusaha untuk mengarahkan hidupku ke arah yang aku ingin wujudkan. Dan... Hei, Mungkin keinginanku untuk mendapatkan penghargaan sesuai dengan harapan tidak akan lagi berlaku. Begitu? Kita lihat, apakah aku bisa menghilangkan itu hingga tak jadi manusia? Hingga jadi resi. (resi juga manusia!!) Ng.. Maksudku resi versiku. Ya.. Aku tau itu tak mungkin, karena Tuhan mungkin memang memberikan sifat-sifat itu kepada manusia. Tapi aku harus!! Agar tak haus hormat dan penghargaan. Maksudku.. Apa yang dianggap baik lebih penting dari sekedar nilai. Ya.. Itu.. Susah banget sih jabarinnya. - -"
Dan, Hey.. Aku ingat, mungkin aku pernah melakukan hal yang sama kepada orang lain, dan aku menyesal untuk bersikap yang sama. Mungkin, aku akan memperbaikinya. Untuk berusaha membuat orang lain mendapatkan penghargaan yang mereka harap dapatkan. :)
Tuhan selalu tahu bagaimana mengajar hambaNya.
Langganan:
Postingan (Atom)